Sabtu, 31 Juli 2010

Anggrek Mini Dipamerkan di Bandung


anggrek.org
Ilustrasi
BANDUNG, KOMPAS.com - Anggrek mini yang ditemukan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia beberapa waktu lalu dihadirkan dalam pameran yang diadakan di Bandung, Kamis (15/7/2010).

Pameran anggrek itu yang diselenggarakan oleh Hotel Sheraton sebagai upaya dalam penggalangan dana UNICEF untuk program vaksin anak-anak kurang mampu.

"Kesegaran dari warna-warni anggrek dapat menjadi terapi untuk meningkatkan kekebalan tubuh masyarakat perkotaan yang setiap harinya dipadati dengan rutinitas," kata Hermanu, petani asal Jawa Barat, yang mengikuti pameran itu.

Dalam pameran itu juga dihadirkan anggrek mini asal Pulau Nias yang ditemukan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, beberapa bulan lalu. Ditemukannya anggrek kecil itu tidak menutup kemungkinan akan dapatnya ditemukan lagi anggrek yang berukuran lebih kecil di Belantara Indonesia.

Rabu, 28 Juli 2010

TUKAR LINK/LINK EXCHANGE

LINK EXCHANGE/TUKAR LINK



Buat teman-teman yang ingin tukar link dengan saya, mudah saja caranya sebagai berikut:
(To all of friend who like to exchange a link with me, this the eazy step)
1. Copykan link saya http://www.informasikehutanan.blogspot.com di halaman pertama website teman-teman
dengan nama INFOKEHUTANAN
(copy my link http://www.informasikehutanan.blogspot.com in the first page of your site
with name INFOKEHUTANAN
2. Informasikan bahwa link sudah terpasang dengan meninggalkan pesan di kolom pesan di bawah
(inform us that the link has been installed/put by leave a message)
3. Secepatnya link teman-teman akan saya tampilkan di halaman depan web ini
(immediately your link will be listed in my first page site)

Terimakasih atas kesediaannya, mari kita saling jaga komunitas blogger dengan saling tolong-menolong.
(thanks for u'r kindness, and lets keep blogger community with friendship)

Moderator

Jumat, 23 Juli 2010

LINK EXCHANGE/TUKAR LINK




Buat teman-teman yang ingin tukar link dengan saya, mudah saja caranya sebagai berikut:
(To all of friend who like to exchange a link with me, this the eazy step)
1. Copykan link saya http://www.informasikehutanan.blogspot.com di halaman pertama website teman-teman 
    dengan nama INFOKEHUTANAN 
    (copy my link  http://www.informasikehutanan.blogspot.com in the first page of your site
     with name INFOKEHUTANAN 
2. Informasikan bahwa link sudah terpasang dengan meninggalkan pesan di kolom pesan di bawah
    (inform us that the link has been installed/put by leave a message)
3. Secepatnya link teman-teman akan saya tampilkan di halaman depan web ini
    (immediately your link will be listed in my first page site)

Terimakasih atas kesediaannya, mari kita saling jaga komunitas blogger dengan saling tolong-menolong.
(thanks for u'r kindness, and lets keep blogger community with friendship)

Moderator

Selasa, 06 Juli 2010

Agar Kayu Tak Lari Ke Negeri Orang

Agar Kayu Tak Lari Ke Negeri Orang

: 2010-01-21 12:04:53

Dari mana datangnya kayu yang nongkong di Malaysia?. Departemen perindustian menyebutkan, kayu itu datang dari Indonesia yang memang rajin mengekspor kayu illegal ke negeri itu. Tiap tahunnya bisa mencapai 10 juta m3. Angka ini jauh lebih besar dibanding ekspor kayu legal Indonesia ke tempat lain. Deprindag mencatat, tahun 2001, sampai bulan juli ekspor kayu bulat indonesia mencapai 175,3 ribu m3, yang berarti menurun jauh, sebab, tahun 2000, indonesia bisa mengekspor kayu sebanyak 449,84 ribu m3.

Turunnya nilai ekspor kayu legal dan makin tingginya ekspor kayu illegal mengakibatkan kerugian negara bertambah besar. Karena itu, Senin, 8 Oktober 2001 lalu, Menteri Kehutanan (Menhut), M. Prakoso, dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (menperindag), Rini Soewardi, mengeluarkan keputusan bersama untuk memotariumkan ekspor bagi kayu bulat dan bahan baku kayu serpih.

Seperti dikutip SH, pak Menhut mengakui, momaterium ekspor kayu akan memudahkan pemerintah dalam mengidentifikasi setiap kayu yang keluar dari Indonesia. Upaya ini, kata menhut, semata-mata untuk mempermudah kontrol atas illegal loging yang makin marak terjadi. Itu artinya setiap kayu yang lari ke luar negeri dicap sebagai kayunya maling. Kayu selundupan.

Langkah ini, juga diharapkan bisa mendorong agar industri perkayuan dalam negeri lebih kompetitif. Menurut Menperindag, momatorium ekspor kayu akan banyak membantu industri kayu dalam menyediakan bahan bakunya. Menperindag juga berpendapat, restrukturisasi atas 126 perusahaan perkayuaan yang kini menjadi pasien BPPN mutlak diperlukan. Namun, ia memberi catatan, agar itu dilakukan dengan hati-hati, sehingga hanya industri yang benar-benar sehat yang pantas hidup dan berkembang.

Sementara itu, Hariadi Kartodiharjo berpendapat, usaha pemerintah dalam memotoriumkan ekspor kayu, sudah merupakan langkah positip . Cuma, usaha tersebut harus dilakukan dtidak dengan cara parsial, tapi harus komprehensif, sesuai komitmen pemerintah indonesia dengan negara-negara donor yang tergabung dalam CGI yang didalamnya menyangkut antar lain penanganan terhadap illegal logging, restrukturisasi utang pada industri perkayuan nasional, dan pembenahan sistem terkait dengan otonomi daerah.

sumber: FKKM

Draft Revisi Pp 34 Versi Ke 43 Mengaburkan Keberpihakan Pemerintah terhadap Rakyat Miskin (Propoor)

Draft Revisi Pp 34 Versi Ke 43 Mengaburkan Keberpihakan Pemerintah terhadap Rakyat Miskin (Propoor)

: 2010-01-21
Hakekat dan esensi peranan birokrasi adalah memberikan pelayanan kepada publik. Pemerintah saat ini telah menetapkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat miskin (propoor). Keberpihakan kepada mayarakat miskin harus diwujudkan secara kongkrit dengan memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin sekitar hutan. Kelemahan birokrasi dalam melakukan pengendalian tidak bisa menjadi alasan untuk menutup atau mempersulit akses dan hak masyarakat miskin dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan. Pengendalian adalah bagian dari pelayanan kepada publik, sehingga logika --yang menggunakan kelemahan dalam pengendalian untuk menutup atau mempersulit akses dan hak masyarakat miskin dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan --merupakan logika yang melemparkan kelemahan birokrasi mejadi beban dan persoalannya masyarakat miskin sekitar hutan.

Draft Revisi PP 34 versi 43 mengunakan cara berpikir bahwa masyarakat miskin sekitar hutan perlu diberdayakan sampai suatu saat akan mendapat legalitas, setelah mampu bersaing dengan masyarakat yang lain dengan mengikuti prosedur perizinan yang ada sekarang sesuai PP 34/2002. Padahal masyarakat miskin sekitar hutan dari sisi hukum tidak berdaya karena keberdaaan dan usaha mereka untuk bertahan hidup dengan memanfaatkan sumberdaya hutan dari kawasan hutan adalah illegal. Jadi pemberdayaan dan prosedur perizinan ibarat ayam dan telur. Artinya pemberdayaan tidak akan terjadi jika tidak ada kemudahan dalam prosedur perizinan. Demikian juga prosedur perizinan tidak akan bisa diakses kalau tidak ada pemberdayaan. Sehingga pemberdayaan dan legalitas atau kemudahan dalam prosedur perizinan harus dilakukan secara paralel. Logika yang digunakan dalam Draft Revisi PP 34 versi 43 sama persis dengan logika PP 34/2002 dalam prosedur perizinan untuk masyarakat miskin sekitar hutan. Dengan demikian Draft Revisi PP 34 versi 43 tersebut telah membuat tujuan dari revisi PP 34 untuk propoor tidak tercapai.

Izin HKm yang akan dikeluarkan Bupati/Walikota dalam Draft Revisi PP 34 versi 42 dikhawatirkan akan membuat maraknya izin-izin penebangan kayu yang dikeluarkan Bupati/Walikota seperti yang pernah terjadi. Padahal izin-izin penebangan kayu 100 hektar yang pernah banyak terjadi menggunakan dasar hukum SK Menhut yang memberikan kewenangan kepada Bupati/Walikota untuk mengeluarkan izin kayu seluas 100 hektar dan bukan mengunakan SK Menhut tentang HKm sebagai dasar hukumnya. Penyelewengan terhadap izin HKm yang selama ini terjadi hanya di Kalimantan Tengah dan yang lain lebih karena keputusan Departemen Kehutanan yang memberikan izin HKm kepada Pondok Pesantren (Misalnya kasus di NTB).

Sementara izin-izin sementara dan praktek-praktek HKm di Yogayakarta, Lampung, NTB, Sulawesi Tengara dan Sulawesi Selatan telah menunjukkan keberhasilan masyarakat dalam melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraanya. Keberhasilan dan penyelewengan yang terjadi antara lain dipengaruhi oleh : iklim bisnis usaha kayu di daerah dan keberadaan Forum Komunikasi HKm (FK-HKm) di tingkat Provinsi dan Kabupaten. Kasus di Yogyakarta, Lombok dan Lampung Barat membuktikan kerjasama masyarakat sipil dan pemerintah melalui FK-HKm telah mampu mengarahkan dan mengendalikan pelaksanaan HKm di daerah. Jangan sampai penyelewengan di Kalimantan Tengah membuat pemerintah menutup mata terhadap keberhasilan inisiatif pelaksanaan HKm di beberapa daerah yang didukung masyarakat sipil dan pemerintah daerah.

Dalam Draft Revisi PP 34 versi 42 Bagian Pemberdayaan Masyarakat (Pasal 67 – Pasal 75), Bupati/Walikota tidak bisa begitu saja mengeluarkan izin HKm. Bupati/Walikota harus terlebih dahulu melakukan identifikasi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan dan inventasasi kawasan hutan. Hasil analisis identifikasi dan inventarisasi tersebut kemudian diusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk ditetapkan menjadi Wilayah Pengelolaan HKm. Sebelum menerima atau menolak penetapan Wilayah HKm, Menteri menugaskan aparat Departemen Kehutanan untuk melakukan verifikasi ke lapangan. Berdasarkan hasil verifikasi tersebut kemudian Menteri menetapkan atau menolak penetapan Wilayah HKm. Jika Menteri telah menetapkan Wilayah HKm, Bupati/Walikota dengan dibantu pihak-pihak lain memfasilitasi masyarakat membangun kelembagaan dan rencana pengelolaan. Setelah ada rencana pengelolaan dan terbertuk lembaga koperasi, baru Bupati/Walikota dapat mengeluarkan izin HKm. Pengawasan dan pengendalian yang dilakukan pemerintah di tingkat nasional, daerah, dan lapangan akan dibantu oleh Forum Komunikasi HKm (FK-HKm). FK-HKm ini sudah terbentuk di tingkat nasional dan beberapa daerah. Selanjutnya bagaimana pemerintah bisa mengoptimalkan fungsi dan peran FK-HKm tersebut. Selain itu saat ini, kampanye illegal logging yang gencar dilakukan Bapak Menhut MS Kaban telah behasil menurunkan keberanian Bupati/Walikota dalam mengeluarkan izin penebangan kayu. Pemerintah juga saat ini sedang menyusun RUU Anti-Illegal Logging. Seharusnya akses masyarakat miskin sekitar hutan dan praktek-praktek HKm yang sudah berhasil di lapangan diakui dan dilindungi. Kemudian pada di sisi yang lain, penyelewengan harus ditindak sesuai aturan hukum yang berlaku. Logika yang tidak adil bagi masyarakat miskin sekitar hutan adalah menjadikan persoalan kehutanan seperti: belum adanya lembaga pengelola hutan (KPH), kelemahan dalam pengendalian, dan illegal logging menjadi beban dan persoalannya masyarakat miskin sekitar hutan dalam memperoleh akses terhadap sumberdaya hutan.

Hutan Kemasyarakatan (HKm) sendiri telah dirintis oleh Departemen Kehutanan sejak tahun 1995 pada Era Orde Baru waktu Bapak Djamaludin Suryohadikusumo menjabat sebagai Menteri Kehutanan dengan mengeluarkan SK Menhut No. 622/1995. Kebijakan HKm kemudian disempurnakan pada waktu Menhut Bapak Muslimin Nasution dengan SK Menhut No. 677/1998 dan SK Menhut No. 685/1999. Berdasarkan SK Menhut No. 677/1998 dan SK Menhut No.685/1999 telah dikeluarkan izin sementara HKm di Aceh (13 izin), Jambi (2 izin), Lampung (4 izin), Kalimantan Tengah (3 izin), dan Sulawesi Selatan (1 izin). Pada waktu Menhut Bapak Nur Mahmudi Ismail kebijakan HKm diperbaiki lagi dengan SK Menhut No. 31/2001. Berdasarkan SK Menhut No.31/2001, Biupati telah mengeluarkan izin sementara HKm di Yogyakarta 42 izin sementara dan Lampung 19 izin sementara HKm.

Kebijakan HKm stagnan pada waktu Menhut Bapak M. Prakoso mengeluarkan Permen No.01/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan Atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry (Permenhut Sosial Forestri). Draft Revisi PP 34 versi 42 merupakan kesempatan Menteri Kehutanan Bapak MS Kaban membuat landasan hukum bagi perlindungan dan pengakuan kepada masyarakat miskin sekitar hutan sekaligus menyempurnakan dan melakukan harmonisasi terhadap kebijakan HKm yang telah dirintis Departemen Kehutanan sejak tahun 1995. Sementara Draft Revisi PP 34 versi 43 akan membuat Menteri Kehutanan Bapak MS Kaban mengkondisikan kebijakan kehutanan kembali ke kondisi sebelum tahun 1995.

Draft Revisi PP No. 25 mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota saat ini belum disahkan. Dalam Draft Revisi PP 25 dinyatakan bahwa urusan ”Pemberdayaan Masyarakat Setempat dan Desa” dan urusan ”Kehutanan” merupakan urusan pemerintahan yang bersifat ’konkuren’. Urusan yang konkuren adalah urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, monoter dan fiskal nasional, yustisi serta agama) yang diselenggarakan bersama oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ( Pasal 2 dan Pasal 3).

Pembagian kewenangan urusan Pemberdayaan Masyarakat Setempat dan Desa dalam Draft Revisi PP 34 versi 42 selaras dan sesuai dengan kriteria pembagian urusan pemerintahan dalam Pasal 4 Draft Revisi PP 25 (Eksternalitas, Akuntabilitas, Efisiensi). Urusan ”Pemberdayaan Masyarakat Setempat dan Desa” juga merupakan urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota berkaitan dengan pelayanan dasar (Pasal 7). Sementara Draft Revisi PP 34 versi 43 mengacu kepada Lampiran Materi Muatan Urusan Bidang Kehutanan Draft Revisi PP 25 dengan logika yang memisahkan pemberdayaan masyarakat dengan legalitas atau kemudahan dalam proses perizinan.

Dengan demikian Draft Revisi PP 34 versi 42 sejalan dan tidak bertentangan dengan Draft Revisi PP 25. Ini sangat tergantung kepada logika yang kita kembang dan interpretasi yang kita gunakan terhadap teks peraturan tersebut. Logika yang kita kembangkan dan interpretasi yang kita gunakan menggambarkan kepentingan yang kita perjuangkan dan layani. Logika yang memisahkan pemberdayaan masyarakat dan legalitas atau kemudahan dalam prosedur perizinan merupakan logika yang tidak adil untuk rakyat miskin. Logika ini juga merupakan logika pihak-pihak yang kurang memahi persolalan pemberdayaan masyarakat di lapangan. Pemerintah harus memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dan menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat miskin sekitar hutan (propoor). Apalagi sampai saat belum ada izin definitip HKm yang diikeluarkan oleh pemerintah. Sementara sejak bulan November 2005 sampai saat ini pemerintah telah mengeluarkan 27 izin baru HPH (IUPHHK-HA) dan 10 izin baru HTI (IUPHHK-HT).

Memperhatikan berbagai argumentasi dan pertimbangan di atas, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) menyatakan, pertama Menuntut Departemen Kehutanan untuk tetap menggunakan dan memperjuangkan Draft Revisi PP 34 versi 42 sebagai draft resmi Dephut. dalam pertemuan antar departemen sampai disahkan oleh Presiden. FKKM dengan jaringan di seluruh Indonesia bersedia dan siap membantu dan bekerjasama dengan Departemen Kehutanan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pemberian izin HKm.

Kedua. FKKM akan mengundurkan diri sebagai anggota Tim Penyusun Revisi PP 34/2002, apabila Departemen Kehutanan menggunakan Draft Revisi PP 34 versi 43 sebagai draft resmi Dephut dalam pertemuan antar departemen.

Bogor, 31 Juli 2006
Muayat Ali Muhshi
Sekretaris Eksekutif FKKM

Dua Pohon Pinus Ancam Masa Depan Wt

Dua Pohon Pinus Ancam Masa Depan Wt

: 2010-05-05
PURWOKERTO, KOMPAS.com - Seorang remaja berusia 17 tahun, warga Desa Panusupan RT 07 RW 07, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, terancam hukuman 10 tahun penjara. Remaja berinisial Wt itu didakwa mencuri dua pohon pinus milik Perhutani Banyumas Timur.

"Klien kami yang berinisial Wt dituduh mencuri dua pohon pinus di petak 17a hutan milik Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyumas Timur yang berada di Desa Panusupan, pada 6 Maret 2010," kata Kuasa Hukum Wt, Rahardiyan Prasetyo di Purwokerto, Senin (3/5/2010).

Mengenai kronologis pencurian yang dituduhkan kepada Wt, dia mengatakan saat itu WT diajak empat rekannya yang sudah dewasa, yakni Supardi, Carkim, Wasum, dan Wanto mengambil kayu di hutan, sekitar pukul 20.00 WIB.

Menurut dia, mereka berhasil menebang dua pohon pinus dan selanjutnya dipotong-potong menjadi 11 bagian.

Keesokan harinya, ketika hendak mengambil kayu tersebut, kata dia, Wt dan Supardi ditangkap petugas dari Perhutani, sedangkan tiga orang lainnya melarikan diri.

"Wt dituduh mencuri kayu hingga akhirnya harus menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Purwokerto," katanya.

Dalam sidang pertama yang digelar Rabu (28/4), kata dia, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ninik Rahma mendakwa Wt melanggar Pasal 50 ayat 3 huruf e juncto Pasal 78 ayat 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.

Terkait hal itu, dia mengatakan pihaknya mengharapkan dalam sidang lanjutan pada Rabu (5/5/2010), Majelis Hakim PN Purwokerto Harto Pangsono yang menyidangkan perkara ini dapat memberi keringanan hukuman bagi Wt.

Menurut dia, kliennya yang masih di bawah umur ini belum pernah dihukum dan telah mengakui perbuatannya. "Selain itu, dia juga berasal dari keluarga tak mampu sehingga saya mendampinginya secara prodeo (bebas dari biaya, red.)," katanya.

kompas, 3 Mei 2010

Petani Inginkan Kepastian Lahan Diharap Pemerintah Memfasilitasi

Petani Inginkan Kepastian Lahan Diharap Pemerintah Memfasilitasi

: 2010-05-03

Lahan yang timbul akibat sedimentasi Sungai Citanduy itu sejak beberapa tahun terakhir diklaim masuk wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Perhutani Banyumas Barat.

Empat kecamatan tersebut adalah Kampung Laut, Gandrungmangu, Kedungreja, dan Patimuan. Saling klaim lahan tanah timbul antara petani dan Perhutani tersebut mengakibatkan 13 petani dipenjara dalam waktu tiga tahun terakhir.

”Sudah bertahun-tahun masalah ini belum terpecahkan secara adil. Kami sudah mengajukan surat kepada Presiden agar difasilitasi penyelesaian sengketa ini, tetapi hanya dijawab Perhutani dengan sistem PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat),” kata Ketua Umum Serikat Tani Merdeka Jawa Tengah Habibullah, Minggu (2/5).

Menurut Habibullah, lahan seluas 5.140 hektar di empat kecamatan tersebut dulunya adalah rawa-rawa. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, rawa-rawa itu menjadi tanah milik negara.

Pada masa kemerdekaan, lanjutnya, tanah rawa tersebut menjadi lahan tidur tak tergarap.

Seiring dengan menumpuknya sedimentasi Sungai Citanduy, rawa-rawa itu berubah menjadi lahan timbul. Tahun 1980-an, petani di sekitar rawa mulai mengolah lahan timbul itu sebagai lahan pertanian dan permukiman. Petani juga turut menguruk bekas rawa tersebut sehingga bisa menjadi ladang dan permukiman.

Saat ini, sekitar 7.000 petani menggarap lahan 5.140 hektar itu. Di Desa Cimrutu, Kecamatan Patimuan, di atas tanah timbul itu telah didirikan balai desa.

PP No 30/2003

Mendasarkan peta yang dibuat Pemerintah Belanda tahun 1941, Perhutani tahun 1999 mengklaim ribuan hektar tanah timbul tersebut. Sejak saat itu, sengketa lahan antara petani dan Perhutani terjadi.

”Dengan memanfaatkan CSR (corporate social responsibility), ada perusahaan yang menanami tanah timbul itu dengan kayu putih secara sepihak. Pernah ada petani yang tanpa sengaja merusak tanaman kayu putih itu dipidanakan dan dipenjarakan. Padahal, status tanah itu kini masih sengketa,” tutur Habibullah.

Warga berharap pemerintah segera memfasilitasi antara petani dan Perhutani. Apabila pemerintah menyatakan bahwa lahan tersebut merupakan tanah negara, petani tidak keberatan. Asalkan setelah itu ada kejelasan legalitas mengenai pengelolaan lahan tersebut.

”Terus terang, kami sekarang khawatir karena statusnya memang tak jelas. Ini tanah timbul yang sudah bertahun-tahun kami garap. Dulu orang-orang kami ikut menguruk lahan ini. Tapi, mengapa sekarang diklaim perusahaan? Ada juga petani yang malah dipenjara,” tutur Slamet Karsono (40), petani di Desa Cimrutu.

Sebagaimana warga yang lain di atas lahan 5.140 hektar itu, Slamet tidak memiliki sertifikat atas tanah yang ditempatinya. ”Makanya, kami sangat berharap pemerintah segera menyelesaikan secara adil agar tak menggantung seperti ini,” katanya.

Administrator Kesatuan Pemangkuan Hutan Perhutani Banyumas Barat Agus Ruhiyana mengatakan, status lahan 5.140 hektar itu adalah kawasan hutan dengan tujuan istimewa (KHDTI). Ini sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan tahun 1978.

”Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2003, lahan KHDTI itu pengelolaannya diserahkan kepada Perhutani,” kata Agus. (HAN)

Kompas, 3 Mei 2010

Menanti Kepunahan Si Makhluk Raksasa

Menanti Kepunahan Si Makhluk Raksasa


Jumat, 30 April 2010 | 03:17 WIB

Oleh Syahnan Rangkuti

Sebagian besar orang beranggapan, gajah adalah hewan lucu yang selalu menjadi bintang atraksi di sirkus. Binatang bertubuh tambun itu terlihat jinak di kebun binatang atau taman safari.

Pernahkah Anda membayangkan mamalia darat terbesar di dunia itu hadir di sekitar rumah Anda? Mereka berkeliaran bebas, tidak dalam kondisi terikat atau didampingi pawang. Bukan hanya sehari, melainkan berminggu-minggu. Gerombolan hewan raksasa itu bahkan mengambil segala macam benda yang dapat dijadikan makanannya. Tidak hanya tanaman di halaman depan, belakang, samping kiri atau kanan yang habis diganyangnya, kawanan hewan langka yang berjumlah sampai puluhan ekor itu bahkan masuk dan mengobrak-abrik rumah Anda. Apakah itu lucu?

Anda pasti sepakat, tidak lucu. Melihat tubuh raksasanya dan lengkingan suaranya tanpa penghalang, dipastikan lutut Anda bergetar keras menahan ketakutan luar biasa. Apalagi apabila gajah itu sampai mengejar, menginjak-injak, melilit, dan membanting tubuh kecil manusia seperti ranting kecil yang tidak berarti.

Cemas, takut luar biasa, pasrah, marah, itulah perasaan campur aduk yang dialami ribuan warga yang hidup di Kelurahan Pematang Pudu, Desa Pinggir dan Kelurahan Balai Makam, Kecamatan Pinggir dan Kecamatan Mandau, Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau, sekarang ini. Nyaris tidak ada seorang pun warga di sana yang tidak pernah berhadapan dengan gajah, langsung maupun secara tidak langsung.

Syafriwan, Ketua RT 06 RW 10 Desa Pinggir, Kecamatan Pinggir, mengatakan, semua warganya yang berjumlah 40 keluarga pernah mengungsi selama sepekan, pada tahun 2008, karena gajah tidak mau pergi dari sekitar rumah mereka. Seluruh tanaman dari jenis sayur-sayuran di sekeliling rumah habis ludes, sementara tanaman kebun seperti kelapa sawit luluh lantak nyaris tidak bersisa.

”Saya lahir di sini 35 tahun lalu. Dahulu gajah memang berkeliaran di hutan yang tidak jauh dari rumah kami. Namun, sekarang gajah-gajah itu sudah berada di halaman rumah kami dan acap kali masuk ke dalam rumah karena hutan sudah tidak ada,” ucap Syafriwan.

Icap, begitu sapaan Syafriwan, mengatakan, dahulu apabila mereka membuat api unggun atau bunyi-bunyian keras, gajah itu akan lari menjauh dan segera masuk ke hutan. Namun, sekarang ini, api dan suara keras hanya membuat kawanan gajah itu menjauh beberapa langkah saja karena hutan sudah tak ada. Apabila warga berani merangsek lebih dekat, risikonya bisa fatal. Gajah-gajah itu bukannya semakin menjauh, melainkan berbalik arah mendekat. Kalau manusia lari, semua hewan itu akan ikut mengejar juga.

Sunardi, tetangga Syafriwan, warga Desa Petani, pada akhir Maret lalu harus mendapat perawatan serius di Rumah Sakit Ibnu Shina, Pekanbaru, akibat beberapa tulang rusuk dan lengannya remuk diinjak gajah tatkala ikut mengusir gajah di desanya. Sunardi merasa kesal karena seluruh tanaman sawitnya yang baru ditanam habis dilantak gajah yang diperkirakan berjumlah 25 ekor.

Dengan obor di tangan, Sunardi mencoba mengusir gajah-gajah itu lebih jauh dari kebunnya. Namun, seekor gajah bertubuh paling besar dengan gading paling panjang berbalik mengejarnya. Puluhan warga desa yang semula berada di belakang Sunardi langsung berlarian. Malang, tubuh Sunardi terperosok ke dalam parit, dan gajah besar tadi sempat menginjak bagian dadanya. Masih untung, injakan kaki besar itu hanya mematahkan beberapa tulang rusuk dan lengannya. Ketika gajah menjauh, Sunardi baru dapat ditolong.

”Itulah risiko apabila kami mengusir gajah. Masih untung Sunardi masih hidup. Tahun lalu, seorang kakek mati dengan tubuh nyaris tidak berbentuk karena dibanting gajah-gajah itu di Desa Balai Makam,” timpal Hendrik, warga Desa Pinggir.

Saat gajah memasuki desa, semua lelaki di desa itu harus berjaga di pinggir rumah atau di kebun dengan api unggun. Jangan sampai tertidur atau api mati, alamat sayuran dan tanaman kebun habis dilahap. Tidak hanya itu, rumah akan diobrak-abrik gajah untuk mengambil makanan berupa beras dan garam.

”Kalau datuk (sebutan warga desa untuk gajah) itu sudah masuk, kami pasti kurang tidur. Siangnya kami tidak bisa bekerja karena malamnya harus ronda lagi,” ungkap Suhadi, warga RT 04, Desa Pinggir.

Menurut Syafriwan, ritual menyambut kedatangan gajah sebenarnya sudah berlangsung sejak sepuluh tahun terakhir. Namun, pada lima tahun terakhir, frekuensi kedatangan gajah menjadi lebih sering. Apabila dahulu gajah-gajah hanya masuk kampung satu tahun sekali, berangsur-angsur menjadi dua kali dan tahun-tahun terakhir ini, kawanan gajah yang diperkirakan mencapai 45 ekor itu bisa datang tiga sampai empat kali setahun. Gajah-gajah itu semakin berani dan tidak merasa asing lagi berhadapan dengan manusia.

Rute perjalanan gajah selalu tetap. Biasanya dimulai dari Pelapit Aman di Kelurahan Pangkalan Pudu, lalu menuju Teggar, Pusat Penghijauan, Lapangan Helikopter (milik PT Chevron), Simpang Lima, Koperasi Unit Desa di Desa Pinggir, Belading, Balai Makam, dan Kulim di Kelurahan Balai Makam. Setelah sampai di Kulim, gajah-gajah tadi kembali berputar menuju Pelapit Aman, begitu seterusnya. Di lokasi-lokasi itu, gajah-gajah ini kadang bersatu dalam satu kelompok besar atau berpencar dengan anggota 5 sampai 25 ekor. Jadwal singgah tidak tetap, tetapi berkisar tiga hari sampai dua minggu per lokasi.

Konflik gajah dan manusia tentu saja membawa korban. Korbannya bergantian, antara gajah dan manusia. Pada suatu ketika, gajah menyerang manusia, tetapi kali lain gajah ditemukan mati karena diambil gadingnya atau mati membusuk terkena racun. Sudah tidak terhitung kerugian di dua pihak selama kurun lima tahun terakhir.

Syamsidar, juru bicara WWF Riau, mengatakan, konflik gajah dan manusia di Duri dipastikan belum akan berakhir dalam waktu dekat. Jalan keluarnya hanya satu, yakni gajah-gajah itu direlokasi ke tempat lain dalam kawasan hutan yang lebih aman. Tanpa relokasi, konflik baru akan berhenti apabila semua gajah itu mati.

Konflik

Mengapa terus terjadi konflik itu? Apakah tidak ada perhatian pemerintah untuk mengatasinya?

Pada tahun 1986, ketika era hutan tanaman industri dimulai di Riau, areal hutan bekas HPH seluas 18.000 hektar dikeluarkan dari konsesi PT Arara Abadi (anak perusahaan PT Indah Kiat Pulp and Paper, grup Sinar Mas) untuk dijadikan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja. Suaka itu terletak di Sebanga, dekat dengan sumur minyak PT Chevron.

Ketika suaka itu dibuka, tujuannya hanya satu, yakni lahan konservasi untuk merelokasi gajah-gajah dari Kecamatan Pinggir dan Kecamatan Mandau yang semakin sering memasuki desa atau kawasan penduduk.

Bahkan, lewat Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor 387/VI/1992 tertanggal 29 Juni 1992, sebagian dari SM Balai Raja seluas 5.873 hektar diperuntukkan secara khusus sebagai Pusat Latihan Gajah (PLG) yang dikelola oleh Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Riau.

Namun, saat Kompas berkunjung ke PLG Balairaja, boleh dikatakan suaka itu sudah musnah. Sudah tidak ada lagi hutan di sana. Nama PLG semestinya diubah menjadi perusahaan kelapa sawit saja. Di sekeliling PLG hanya ada kelapa sawit dan kelapa sawit semata. Kecuali lahan semak belukar seluas 50 hektar di belakang PLG. Lahan itu pun sudah diklaim sebagai milik warga. Untungnya atau sialnya, lahan tersisa itu ternyata berupa rawa-rawa sehingga warga tak bisa menanam sawit. Kalau saja tanah itu sedikit keras, dipastikan kawasan PLG sudah lenyap total dari muka bumi ini.

Jadi sangat wajar apabila gajah-gajah tadi terus berkonflik dengan manusia karena rumahnya yang semestinya dijaga oleh pemerintah negeri ini sudah hilang.

Zulfahmi, juru bicara Greenpeace di Riau, menyebutkan, hilangnya SM Balairaja adalah bentuk ketidakmampuan pemerintah menjaga kawasan hutannya. Pemerintah bukan saja tidak menjaga, melainkan juga membiarkan kerusakan tanpa mengambil tindakan apa pun.

”Lihat saja, di depan pintu masuk PLG saja ditanami kelapa sawit. Itu artinya orang-orang di PLG itu tahu kapan peristiwa itu terjadi, tetapi tidak ada tindakan. Mengapa orang-orang semakin banyak menanam sawit, karena kepala desanya mengeluarkan surat tanah. Tanpa alas hak itu, para perambah itu pasti tidak akan berani. Persoalan itu berlangsung bertahun-tahun tanpa ada yang peduli. Sekarang ketika semuanya sudah rusak, apa yang akan dilakukan pemerintah?” ujar Zulfahmi.

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau Trisnu Danisworo sebenarnya sudah mengetahui persis kondisi riil SM Balai Raja. Hanya saja, ketika dipertanyakan masalah itu, dia mengatakan masih mempelajari dan mengumpulkan bahan tentang kawasan hutan konservasi itu.

Ada beberapa solusi untuk penyerobotan lahan itu.

Pertama, pemerintah menghapus kawasan konservasi itu untuk diserahkan kepada petani kelapa sawit yang sudah mengeluarkan uang banyak sebagai investasi usahanya.

Kedua, dilakukan penegakan hukum dengan menghancurkan kelapa sawit warga. Atau dilakukan negosiasi setengah-setengah. Artinya, warga harus mau menyerahkan setengah sawitnya untuk dihutankan kembali.

”Tak mungkin melepas status hutan itu tanpa persetujuan dari DPR. Kami akan berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Riau untuk solusi suaka itu,” kata Trisnu tanpa memberikan solusi nyata.

Dalam perbincangan dengan Kompas, Gubernur Riau Rusli Zainal sempat memikirkan untuk meminta Menteri Kehutanan memberikan kewenangan penanganan hutan konservasi kepada daerah. Bila pengawasan hutan konservasi masih di tangan pusat, seperti sekarang, daerah hanya akan mendapat getahnya.

Ketika hutan rusak, seperti SM Balai Raja, masyarakat awam pasti berkata, Riau tidak mampu menjaga hutannya. Padahal, seluruh wewenang pengawasan dan dana ada di pemerintah pusat (baca: Kementerian Kehutanan). Persoalan atau benang merah masalah hutan di Indonesia sebenarnya hanya satu, yakni sentralisasi kewenangan pusat tadi. Pada era reformasi sekarang ini, persoalan kehutanan nyaris tidak mengenal pola desentralisasi.

Persoalan hutan di Riau dapat dianalogikan dengan sebuah rumah yang tak dihuni atau dijaga pemiliknya. Kawanan maling dengan gampang menyatroni rumah dan mengambil seluruh harta benda yang ada di rumah itu. RT setempat justru mendapat cap jelek karena wilayahnya disebutkan rawan maling. Ketika kondisi itu diberitahukan kepada si empunya rumah, dia tidak merasa kehilangan. Ternyata, pemilik rumah itu merasa dia hanya sebagai penjaga malam.

Dimuat di Kompas 30 April 2010

* Peraturan Menteri Kehutanan P.13/Menhut-II/2010
* Permenhut P68/2008 ttg Penyelenggaraan Demontration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan
* Permenhut P30/2009 ttg Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan (REDD)
* Permenhut P 36/2009 ttg Tata Cara Perizinanan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung
* Dana CIF Bisa Dikelola Kolaborasi BUMN-LSM-Swasta
* UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 22 TAHUN 1999
* Peraturan Daerah Pengelolaan Sumberdaya Hutan (PSDHBM) Wonosobo
* Keputusan Menteri Kehutanan No 31/Kpts-II/2001
* Rancangan Pemerintah Tentang Hutan Adat
* DRAFT PLENO REVISI PENYEMPURNAAN PP 34 TAHUN 2002

Dana CIF Bisa Dikelola Kolaborasi BUMN-LSM-Swasta

Dana CIF Bisa Dikelola Kolaborasi BUMN-LSM-Swasta

: 2010-04-13

"Dana CIF sebesar 80 juta dolar AS di satu sisi bisa dipandang sebagai peluang bagi proses perbaikan tegakan hutan dan kehutanan diIndonesia, tapi di sisi lain harus dicermati dan diawasi peminjaman dan pemakaiannya," katanya pada ANTARA di Bogor, Jumat.

Hal itu dikemukakan, terkait pernyataan Kementerian Kehutanan melalui Staf Ahli Menhut bidang kelembagaan Hadi Susanto Pasaribu, Selasa (6/4), yang mengundang pengusaha kehutanan memanfaatkan pembiayaan program investasi kehutanan yang dilaksanakan CIF dengan bunga maksimal 0,25 persen per tahun.

"Pendanaan sebesar 80 juta dolar AS tersebut terbuka untuk semua kegiatan bisnis kehutanan yang terkait dengan program Pengurangan Emisi dari Degradasi dan Kerusakan Hutan (REDD plus)," katanya.

Ia mengatakan, kegiatan yang bakal dibiayai termasuk pengelolaan hutan produksi lestari, penyimpanan dan peningkatan karbon di hutan produksi, pembangunan hutan tanaman di areal yang terdegradasi serta pembangunan hutan rakyat.

CIF mengalokasikan dana 80 juta dolar yang diperuntukkan bagi pengusaha sektor kehutanan dengan bunga maksimum 0,25 persen per tahun untuk mengembangkan proyek pengurangan emisi karbon.

"Pembiayaan yang disalurkan dikenakan bunga sangat rendah, maksimum 0,25 persen per tahun. Pembiayaan yang sudah dikucurkan juga bisa dihapus dari beban bunga seandainya kegiatan yang dijalankan dinilai berhasil dalam pengurangan emisi, namun tidak secara bisnis," katanya.

Ia menjelaskan, dana program tersebut berasal dari sejumlah negara donor dan lembaga perbankan multilateral di antaranya Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

"Bulan (April) ini, tim dari CIF akan datang untuk bersama-sama menyusun strategi investasi yang akan dijalankan. Untuk itu kami mengundang para pelaku bisnis bisa
ikut terlibat," katanya.

CIF merupakan kolaborasi antara bank-bank pembangunan multilateral dan negara-negara donor yang bertujuan menjembatani kurangnya pembiayaan pada kegiatan pencegahan perubahan iklim yang belum tertangani pada skema-skema yang saat ini sudah ada, seperti Global Environment Facility (GEF), Forest Carbon Partnership Facility (FGPF) dan dan skema yang dikembangkan UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim).

Harus diawasi

Menurut Ricky Avenzora, dana CIF tersebut tetap harus dicermati, karena meski berbunga relatif murah tapi harus diingat bahwa dana itu berupa pinjaman yang harus dikembalikan, kata doktor lulusan "George August Universitaet" Gottingen Jerman itu.

Perlunya pengawasan itu, juga disampaikan Ir Taufiq Alimi dari Dewan Kehutanan Nasional (DKN).
"Dana (CIF) ini agak memiliki keleluasaan dalam tata cara penggunaannya, sehingga Indonesia harus berinisiatif masuk dengan agenda yang jelas, apalagi Indonesia menjadi proyek percontohan," katanya.
Senada dengan Ricky Avenzora, ia melihat bahwa dana CIF di satu sisi akan menguntungkan bagi upaya pembangunan sektor kehutanan, namun di sisi lain pengalaman untuk negara berkembang, keleluasaan tata cara penggunaannya selalu tersirat syarat-syarat yang diinginkan seperti transparansi dan bebas konflik kepentingan.(A035/R009)

Menhut Minta Kayu Bulat Bebas PPN

Menhut Minta Kayu Bulat Bebas PPN

: 2010-04-16

Jakarta, Kompas - Kementerian Kehutanan meminta Kementerian Keuangan membebaskan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN terhadap kayu bulat dan komoditas hasil hutan lainnya. Pemungutan PPN 10 persen atas kayu bulat dan hasil hutan lain sesuai Undang-Undang Nomor 42/2009 bakal menjadi disinsentif pengembangan hutan tanaman rakyat dan industri.

Demikian disampaikan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan seusai membuka The 2nd Indogreen Forestry Expo 2010 di Jakarta, Kamis kemarin. Pameran kehutanan tersebut akan berlangsung sampai Minggu (18/4).

”Saya akan segera menyurati Menkeu untuk menjelaskan hal ini. Kami akan meminta supaya kayu yang merupakan bahan baku industri dibebaskan dari PPN,” kata Zulkifli, didampingi Kepala Pusat Informasi Kehutanan Masyhud.

Kementerian Kehutanan tengah gencar mengembangkan hutan tanaman rakyat (HTR) dan hutan tanaman industri (HTI). Zulkifli berharap masyarakat akan tertarik mengembangkan komoditas kayu untuk menjadi bahan baku industri.

Sebelumnya para pengusaha sektor kehutanan juga mengajukan keberatan pemberlakuan PPN. Ketua Umum Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) Sudradjat Dp menyatakan, pengenaan PPN terhadap kayu bulat dan hasil hutan bisa menekan daya saing produk hasil hutan. ”PPN sebesar 10 persen untuk komoditas kehutanan jelas tidak adil dan akan menekan daya saing,” ujar Sudradjat. (ham)

kompas, 16 April 2010

BUMN Hutan Segera Digabung Harus Tuntas pada Tahun 2010

BUMN Hutan Segera Digabung Harus Tuntas pada Tahun 2010

2010-05-07

Jakarta, Kompas - Kementerian Badan Usaha Milik Negara menilai, utilisasi perusahaan negara sektor kehutanan masih rendah. Pemerintah tengah menyiapkan peta jalan penggabungan Perusahaan Umum Perhutani dan PT Inhutani I-V dalam satu wadah untuk meningkatkan kinerja.

Demikian disampaikan Menteri BUMN Mustafa Abubakar seusai penandatanganan nota kesepahaman partisipasi penanaman pohon satu miliar oleh BUMN dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Manggala Wana Bhakti, Jakarta, Kamis (6/5). Hadir pejabat eselon I kedua kementerian dan sejumlah direksi BUMN sektor kehutanan.

”Perhutani dan Inhutani masih under utilize, sebagian masih bleeding atau mati suri. Kami minta dukungan untuk mengevaluasi lagi bagaimana kedua usaha ini bisa menjadi kuat kembali dengan memadu kekuatan,” kata Mustafa.

Perum Perhutani merupakan BUMN yang mengelola dua juta hektar kawasan hutan di Pulau Jawa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2003 soal Perum Kehutanan Negara. Adapun Inhutani I-V merupakan BUMN kehutanan yang bergerak di bidang pembalakan dan pengolahan kayu di luar Pulau Jawa.

Kementerian BUMN berencana menggabungkan semua perusahaan negara sektor kehutanan dalam satu holding. Penggabungan ini bertujuan menciptakan kelompok usaha yang ramping dan gesit bekerja.

Proses penggabungan diusahakan selesai tahun 2010 dan diharapkan bisa berjalan di bawah payung Perum Perhutani mulai tahun 2011.

Menurut Mustafa, selama proses reorganisasi, pemerintah sebagai pemegang saham juga mengkaji pembagian wilayah operasi BUMN kehutanan. ”Ditata kembali. Dimerger sehingga ada satuan, tidak hanya di Jawa untuk Perhutani, bukan hanya di luar Jawa untuk Inhutani,” ujar Mustafa.

Rencana ini mendapat dukungan Menhut. Menurut Menhut, reorganisasi perusahaan negara sektor kehutanan berada di ranah Kementerian BUMN.

Menhut hanya meminta BUMN berperan aktif dalam program penanaman satu miliar pohon. Zulkifli menawarkan program rehabilitasi hutan besar-besaran dengan BUMN.

”Kami sudah menyiapkan peta dan program (rehabilitasi hutan berskala masif). Perusahaan swasta sudah jalan, sekarang mengajak BUMN,” ujar Zulkifli.

Dia menuturkan, keterlibatan HM Sampoerna dalam program penanaman satu miliar pohon adalah dengan menyumbang lima juta bibit cengkeh kepada masyarakat. Semua pemangku kepentingan harus aktif menanam pohon demi mengurangi emisi karbon.

Menurut Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Hadi Daryanto, BUMN kehutanan tak boleh lagi berorientasi pada usaha pembalakan yang tak populer. Mereka dapat masuk ke bisnis jasa lingkungan untuk sumber daya air, ekowisata, atau perdagangan karbon yang kini lebih menarik.

BUMN kehutanan juga harus memacu hutan tanaman bersama rakyat dengan mendirikan industri pengolahan kayu di luar Jawa. Hutan tanaman kini sangat potensial memasok bahan baku untuk mengurangi tekanan pada hutan alam.

Pelaksana Tugas Direktur Utama Perum Perhutani Upik Rosalina mengatakan, pihaknya siap menjalankan keputusan pemerintah. (ham)

Kompas, 7 Mei 2010

PEMANASAN GLOBAL MENGANCAM KITA

Bumi Mungkin Menghadapi Kepunahan Masal Keenam

Dengan menggunakan faktor risiko dan model komputer untuk memprediksi laju kepunahan mamalia, Dr. Ana Davidson dari Universitas New Meksiko, AS dan pengamat hewan lainnya menyatakan bahwa seperempat dari mamalia sekarang berada dalam risiko lenyap secara permanen. Dengan 83% dari permukaan Bumi sekarang dipengaruhi oleh manusia, spesies yang termasuk dalam pertimbangan diambil dari daftar 1.100 mamalia lebih yang terancam, yang disusun oleh Perkumpulan Konservasi Alam Internasional (IUCN). Faktor yang dipertimbangkan dalam perhitungan risiko kepunahan termasuk perubahan iklim, pembabatan hutan, dan pembakaran ilegal.

http://www.voanews.com/english/2009-06-18-voa20.cfm http://biology.unm.edu/jhbrown/LabMembers.html

#1 Post

Blog ini adalah sarana berbagi informasi seputar dunia kehutanan dunia dan Indonesia. Memuat informasi terkini seputar dunia kehutanan dan hal-hal yang berhubungan dengan kehutanan.