: 2010-01-21
Hakekat dan esensi peranan birokrasi adalah memberikan pelayanan kepada publik. Pemerintah saat ini telah menetapkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat miskin (propoor). Keberpihakan kepada mayarakat miskin harus diwujudkan secara kongkrit dengan memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin sekitar hutan. Kelemahan birokrasi dalam melakukan pengendalian tidak bisa menjadi alasan untuk menutup atau mempersulit akses dan hak masyarakat miskin dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan. Pengendalian adalah bagian dari pelayanan kepada publik, sehingga logika --yang menggunakan kelemahan dalam pengendalian untuk menutup atau mempersulit akses dan hak masyarakat miskin dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan --merupakan logika yang melemparkan kelemahan birokrasi mejadi beban dan persoalannya masyarakat miskin sekitar hutan.
Draft Revisi PP 34 versi 43 mengunakan cara berpikir bahwa masyarakat miskin sekitar hutan perlu diberdayakan sampai suatu saat akan mendapat legalitas, setelah mampu bersaing dengan masyarakat yang lain dengan mengikuti prosedur perizinan yang ada sekarang sesuai PP 34/2002. Padahal masyarakat miskin sekitar hutan dari sisi hukum tidak berdaya karena keberdaaan dan usaha mereka untuk bertahan hidup dengan memanfaatkan sumberdaya hutan dari kawasan hutan adalah illegal. Jadi pemberdayaan dan prosedur perizinan ibarat ayam dan telur. Artinya pemberdayaan tidak akan terjadi jika tidak ada kemudahan dalam prosedur perizinan. Demikian juga prosedur perizinan tidak akan bisa diakses kalau tidak ada pemberdayaan. Sehingga pemberdayaan dan legalitas atau kemudahan dalam prosedur perizinan harus dilakukan secara paralel. Logika yang digunakan dalam Draft Revisi PP 34 versi 43 sama persis dengan logika PP 34/2002 dalam prosedur perizinan untuk masyarakat miskin sekitar hutan. Dengan demikian Draft Revisi PP 34 versi 43 tersebut telah membuat tujuan dari revisi PP 34 untuk propoor tidak tercapai.
Izin HKm yang akan dikeluarkan Bupati/Walikota dalam Draft Revisi PP 34 versi 42 dikhawatirkan akan membuat maraknya izin-izin penebangan kayu yang dikeluarkan Bupati/Walikota seperti yang pernah terjadi. Padahal izin-izin penebangan kayu 100 hektar yang pernah banyak terjadi menggunakan dasar hukum SK Menhut yang memberikan kewenangan kepada Bupati/Walikota untuk mengeluarkan izin kayu seluas 100 hektar dan bukan mengunakan SK Menhut tentang HKm sebagai dasar hukumnya. Penyelewengan terhadap izin HKm yang selama ini terjadi hanya di Kalimantan Tengah dan yang lain lebih karena keputusan Departemen Kehutanan yang memberikan izin HKm kepada Pondok Pesantren (Misalnya kasus di NTB).
Sementara izin-izin sementara dan praktek-praktek HKm di Yogayakarta, Lampung, NTB, Sulawesi Tengara dan Sulawesi Selatan telah menunjukkan keberhasilan masyarakat dalam melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraanya. Keberhasilan dan penyelewengan yang terjadi antara lain dipengaruhi oleh : iklim bisnis usaha kayu di daerah dan keberadaan Forum Komunikasi HKm (FK-HKm) di tingkat Provinsi dan Kabupaten. Kasus di Yogyakarta, Lombok dan Lampung Barat membuktikan kerjasama masyarakat sipil dan pemerintah melalui FK-HKm telah mampu mengarahkan dan mengendalikan pelaksanaan HKm di daerah. Jangan sampai penyelewengan di Kalimantan Tengah membuat pemerintah menutup mata terhadap keberhasilan inisiatif pelaksanaan HKm di beberapa daerah yang didukung masyarakat sipil dan pemerintah daerah.
Dalam Draft Revisi PP 34 versi 42 Bagian Pemberdayaan Masyarakat (Pasal 67 – Pasal 75), Bupati/Walikota tidak bisa begitu saja mengeluarkan izin HKm. Bupati/Walikota harus terlebih dahulu melakukan identifikasi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan dan inventasasi kawasan hutan. Hasil analisis identifikasi dan inventarisasi tersebut kemudian diusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk ditetapkan menjadi Wilayah Pengelolaan HKm. Sebelum menerima atau menolak penetapan Wilayah HKm, Menteri menugaskan aparat Departemen Kehutanan untuk melakukan verifikasi ke lapangan. Berdasarkan hasil verifikasi tersebut kemudian Menteri menetapkan atau menolak penetapan Wilayah HKm. Jika Menteri telah menetapkan Wilayah HKm, Bupati/Walikota dengan dibantu pihak-pihak lain memfasilitasi masyarakat membangun kelembagaan dan rencana pengelolaan. Setelah ada rencana pengelolaan dan terbertuk lembaga koperasi, baru Bupati/Walikota dapat mengeluarkan izin HKm. Pengawasan dan pengendalian yang dilakukan pemerintah di tingkat nasional, daerah, dan lapangan akan dibantu oleh Forum Komunikasi HKm (FK-HKm). FK-HKm ini sudah terbentuk di tingkat nasional dan beberapa daerah. Selanjutnya bagaimana pemerintah bisa mengoptimalkan fungsi dan peran FK-HKm tersebut. Selain itu saat ini, kampanye illegal logging yang gencar dilakukan Bapak Menhut MS Kaban telah behasil menurunkan keberanian Bupati/Walikota dalam mengeluarkan izin penebangan kayu. Pemerintah juga saat ini sedang menyusun RUU Anti-Illegal Logging. Seharusnya akses masyarakat miskin sekitar hutan dan praktek-praktek HKm yang sudah berhasil di lapangan diakui dan dilindungi. Kemudian pada di sisi yang lain, penyelewengan harus ditindak sesuai aturan hukum yang berlaku. Logika yang tidak adil bagi masyarakat miskin sekitar hutan adalah menjadikan persoalan kehutanan seperti: belum adanya lembaga pengelola hutan (KPH), kelemahan dalam pengendalian, dan illegal logging menjadi beban dan persoalannya masyarakat miskin sekitar hutan dalam memperoleh akses terhadap sumberdaya hutan.
Hutan Kemasyarakatan (HKm) sendiri telah dirintis oleh Departemen Kehutanan sejak tahun 1995 pada Era Orde Baru waktu Bapak Djamaludin Suryohadikusumo menjabat sebagai Menteri Kehutanan dengan mengeluarkan SK Menhut No. 622/1995. Kebijakan HKm kemudian disempurnakan pada waktu Menhut Bapak Muslimin Nasution dengan SK Menhut No. 677/1998 dan SK Menhut No. 685/1999. Berdasarkan SK Menhut No. 677/1998 dan SK Menhut No.685/1999 telah dikeluarkan izin sementara HKm di Aceh (13 izin), Jambi (2 izin), Lampung (4 izin), Kalimantan Tengah (3 izin), dan Sulawesi Selatan (1 izin). Pada waktu Menhut Bapak Nur Mahmudi Ismail kebijakan HKm diperbaiki lagi dengan SK Menhut No. 31/2001. Berdasarkan SK Menhut No.31/2001, Biupati telah mengeluarkan izin sementara HKm di Yogyakarta 42 izin sementara dan Lampung 19 izin sementara HKm.
Kebijakan HKm stagnan pada waktu Menhut Bapak M. Prakoso mengeluarkan Permen No.01/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan Atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry (Permenhut Sosial Forestri). Draft Revisi PP 34 versi 42 merupakan kesempatan Menteri Kehutanan Bapak MS Kaban membuat landasan hukum bagi perlindungan dan pengakuan kepada masyarakat miskin sekitar hutan sekaligus menyempurnakan dan melakukan harmonisasi terhadap kebijakan HKm yang telah dirintis Departemen Kehutanan sejak tahun 1995. Sementara Draft Revisi PP 34 versi 43 akan membuat Menteri Kehutanan Bapak MS Kaban mengkondisikan kebijakan kehutanan kembali ke kondisi sebelum tahun 1995.
Draft Revisi PP No. 25 mengenai Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota saat ini belum disahkan. Dalam Draft Revisi PP 25 dinyatakan bahwa urusan ”Pemberdayaan Masyarakat Setempat dan Desa” dan urusan ”Kehutanan” merupakan urusan pemerintahan yang bersifat ’konkuren’. Urusan yang konkuren adalah urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, monoter dan fiskal nasional, yustisi serta agama) yang diselenggarakan bersama oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ( Pasal 2 dan Pasal 3).
Pembagian kewenangan urusan Pemberdayaan Masyarakat Setempat dan Desa dalam Draft Revisi PP 34 versi 42 selaras dan sesuai dengan kriteria pembagian urusan pemerintahan dalam Pasal 4 Draft Revisi PP 25 (Eksternalitas, Akuntabilitas, Efisiensi). Urusan ”Pemberdayaan Masyarakat Setempat dan Desa” juga merupakan urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota berkaitan dengan pelayanan dasar (Pasal 7). Sementara Draft Revisi PP 34 versi 43 mengacu kepada Lampiran Materi Muatan Urusan Bidang Kehutanan Draft Revisi PP 25 dengan logika yang memisahkan pemberdayaan masyarakat dengan legalitas atau kemudahan dalam proses perizinan.
Dengan demikian Draft Revisi PP 34 versi 42 sejalan dan tidak bertentangan dengan Draft Revisi PP 25. Ini sangat tergantung kepada logika yang kita kembang dan interpretasi yang kita gunakan terhadap teks peraturan tersebut. Logika yang kita kembangkan dan interpretasi yang kita gunakan menggambarkan kepentingan yang kita perjuangkan dan layani. Logika yang memisahkan pemberdayaan masyarakat dan legalitas atau kemudahan dalam prosedur perizinan merupakan logika yang tidak adil untuk rakyat miskin. Logika ini juga merupakan logika pihak-pihak yang kurang memahi persolalan pemberdayaan masyarakat di lapangan. Pemerintah harus memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dan menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat miskin sekitar hutan (propoor). Apalagi sampai saat belum ada izin definitip HKm yang diikeluarkan oleh pemerintah. Sementara sejak bulan November 2005 sampai saat ini pemerintah telah mengeluarkan 27 izin baru HPH (IUPHHK-HA) dan 10 izin baru HTI (IUPHHK-HT).
Memperhatikan berbagai argumentasi dan pertimbangan di atas, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) menyatakan, pertama Menuntut Departemen Kehutanan untuk tetap menggunakan dan memperjuangkan Draft Revisi PP 34 versi 42 sebagai draft resmi Dephut. dalam pertemuan antar departemen sampai disahkan oleh Presiden. FKKM dengan jaringan di seluruh Indonesia bersedia dan siap membantu dan bekerjasama dengan Departemen Kehutanan dalam melakukan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan pemberian izin HKm.
Kedua. FKKM akan mengundurkan diri sebagai anggota Tim Penyusun Revisi PP 34/2002, apabila Departemen Kehutanan menggunakan Draft Revisi PP 34 versi 43 sebagai draft resmi Dephut dalam pertemuan antar departemen.
Bogor, 31 Juli 2006
Muayat Ali Muhshi
Sekretaris Eksekutif FKKM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar