Hentikan Memperlakukan COP 15 sebagai Ajang Fundrising
(Copenhagen, 101209) Ketidaksiapan Delegasi RI membawa misi menyelamatkan hutan dan rakyat Indonesia dari dampak perubahan iklim terulang pada pertemuan SBSTA (8/11) COP 15 UNFCCC Copenhagen Denmark. Delegasi Indonesia menyampaikan posisinya terkait penguatan kapasitas, transfer teknologi dan pendanaan yang reliable, predictable, dan steady melalui REDD. Mereka menyuratkan akan menerima dana apapun lewat REDD (1). Sikap mengambang ini berpotensi merugikan Indonesia, karena juga membuka pintu lebar-lebar untuk skema pendanaan yang tak bertanggung jawab dan berpotensi mendorong deforestasi dan pelanggaran HAM sekitar hutan makin tinggi.
Ironis, di COP 15 UNFCCC diplomasi recehan pemerintah RI lebih mengemuka, ketimbang keinginan sungguh mengatasi meluasnya dampak perubahan iklim, menyelamatkan hutan tersisa, dan rakyat Indonesia. Delegasi RI bahkan tak melakukan protes saat keluar bocoran Copenhagen Agreement (2), yang mencantumkan hutan sebagai pengurang emisi dan bukan suatu kesatuan ekosistem yang utuh. Dokumen ini memandatkan penambahan tutupan hutan, yang sumir bisa diartikan sebagai perluasan perkebunan atau hutan monokultur skala besar, yang justru selama ini menjadi penyebab utama penghancuran hutan Indonesia.
Harusnya sebagai negara rentan dampak perubahan iklim dan salah satu yang memiliki hutan terluas, Indonesia lantang menolak skema pendanaan, pengembangan kapasitas dan transfer teknologi yang berbasis utang dan offset. Delegasi RI dan negara-negara yang mengikuti perundingan harus berhenti menjadikan COP 15 sebagai ajang fundrising.
Pada pertemuan Subsidiary Body on Scientific and Technological Advice (SBSTA), Indonesia menyebut REDD harus bermanfaat bagi komunitas lokal. Retorika ini harus dihentikan, mengingat sejak lama warga sekitar hutan terus menerus menjadi obyek eksploitasi hutan yang berujung memenuhi kebutuhan negara industri. Konflik yang tinggi akibat alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan hutan tanaman industri, perkebunan hingga pertambangan skala besar. Dengan tata kelola pengurusan hutan yang buruk saat ini, REDD hanya akan mengancam keselamatan rakyat.
Kesaksian wakil 9 negara yang mempromosikan REDD (8 Des 2009), membuktikan REDD tak bisa menjawab masalah pengurangan deforestasi. Dari sejumlah negara yang menargetkan skema REDD, belum ada yang mampu mengimplemantasikan karena hampir semuanya menghadapi masalah yang mirip, mulai basis data yang amburadul, ketiadaan partisipasi publik dalam perancangan REDD, ketiadaan penyelesaian konflik, dan pemahaman yang lemah di kampung (3). Di Papua Nugini, REDD bahkan berkembang tak terkendali, banyak “carbon cowboys” atau broker karbon yang melakukan transaksi dengan partai politik. Wakil Partai berkuasa "National Alliance" menerima 200 ribu kina ($A85,000) dari broker Australian Environment Firm Carbon Planet untuk menjalankan konsultasi perdagangan karbon (4).
Celakanya agenda pembicaan tentang REDD di COP 15, jauh lebih maju dibanding komitmen negara-negara industri menurunkan emisinya. Padahal keberhasilan REDD ditentukan komitmen negara annex 1 untuk level penurunan emisi mereka.
Jika negara-negara industri tak bersedia mengurangi permintaannya terhadap produk ekstraksi macam kayu olahan, minyak sawit mentah, bubur kertas dan lainnya, di negara berkembang. Maka proyek-proyek apapun yang diharapkan menjawab dampak perubahan iklim tak akan punya gigi, bahkan lebih jauh, ia beresiko meningkatkan emisi dan pemiskinan sekitar hutan.
Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim - CSF menyerukan Delegasi Indonesia berhenti mempermalukan bangsanya dengan menjanjikan penurunan emisi melalui REDD, sementara tak memiliki skenario dan kesunguhan menyelesaikan tunggakan masalah kehutanan. Berhentilah memperlakukan hutan jadi barang dagangan dan COP 15 UNFCC sebagai ajang fundrising.
Original Link : http://www.csoforum.net/media-release/siaran-pers/91--hentikan-memperlakukan-cop-15-sebagai-ajang-fundrising.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar