Jakarta - Menindaklanjuti amanat hasil rapat kerja dengan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono beberapa waktu yang lalu, pada Senin (1/2), pemerintah Indonesia melalui Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mengabarkan telah mengirimkan surat ke Badan Dunia mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC).
Hal itu untuk menyatakan dukungan kepada Copenhagen Accord dan mengajukan beberapa program pengurangan emisi di Indonesia.
“Indonesia mendukung Copenhagen Accord karena dinilai dapat mendekatkan semua pihak untuk secara bersama meningkatkan kegiatan-kegiatan nyata terkait dengan komitmen dunia untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata dunia di bawah level 2 derajat Celsius” ujar Ketua Harian DNPI Rachmat Witoelar di Jakarta, Senin.
Pada 19 Januari lalu, DNPI telah mengirimkan surat pernyataan mendukung dan mengasosiasikan diri kepada Copenhagen Accord, serta menekankan kembali komitmen Indonesia yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada sidang G-20 tahun lalu untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia sebesar 26 persen dengan kemampuan sendiri dan bisa bertambah menjadi 41 persen bila ada kerja sama internasional.
Selain itu, DNPI juga telah mengajukan beberapa program untuk menurunkan emisi di Indonesia. Adapun kelompok kegiatan besar yang sudah dikomunikasikan Indonesia kepada UNFCCC, meliputi pengelolaan lahan gambut, penurunan laju deforestasi dan degradasi lahan, pengembangan proyek penyerapan karbon di sektor kehutanan dan pertanian, promosi kegiatan efisiensi energi, pengembangan sumber energi alternatif dan terbarukan, pengurangan emisi limbah padat dan cair, serta perubahan moda transportasi ke arah rendah emisi.
Pesimistis
Di lain pihak, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Berry Farqon masih menyatakan sikap pesimistis terkait beberapa program yang diajukan untuk menurunkan tingkat emisi penyebab perubahan iklim di Indonesia. Menurutnya, banyak langkah-langkah kebijakan yang ada sekarang tak sesuai dengan keinginan tersebut, seperti pada program pengurangan emisi melalui laju penurunan deforestasi dan degradasi.
“Bagaimana mungkin target tersebut bisa dicapai, sementara pemerintah telah mencadangkan 17,9 juta hektare hutan untuk dikonversi menjadi kawasan pembangunan di luar sektor kehutanan?” urai Berry pada kesempatan berbeda.
Sementara itu, pada daerah lahan gambut, dikhawatirkan akan terkena imbas juga, mengingat kebijakan pemerintah yang masih menargetkan pengembangan perkebunan besar kelapa sawit sebesar 26,7 juta hektare. “Lahan seluas itu bisa mengonversi sebagian besar kawasan hutan yang ada saat ini,” tukas Berry lagi.
Satu hal yang perlu dicatat, menurut Berry, adalah lemahnya diplomasi Indonesia untuk menyatakan komitmen dalam melakukan proteksi terhadap hutan alam tersisa (Protection of Primary Intact Forest). “Dalam perundingan UNFCCC di Kopenhagen beberapa waktu lalu, diplomasi Indonesia bahkan tidak
berani menyatakan komitmennya untuk melakukan proteksi terhadap hutan alam tersisa dalam perundingan LULUCF (Land Use Land Use Change and Forestry) dalam negosiasi Ad Hoc Working Group on Further Commitment of Annex-1 Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP),” imbuh Berry.
Hal lainnya adalah masalah penggunaan batu bara sebagai pembangkit energi.
Selain itu, target pengembangan listrik sebanyak 10.000 MW tahap II yang terus dikerjakan sampai saat ini. Penggunaan batu bara untuk mencapai target tersebut jelas menunjukkan masih rendahnya peran pemerintah secara kasat mata, dalam upaya penurunan emisi perubahan iklim melalui pengurangan buangan karbon dioksida ke angkasa.
Original Link : www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/read/indonesia-ajukan-program-ke-unfccc/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar