Lima Pesan untuk Delegasi Iklim Indonesia
JAKARTA, KOMPAS.com - Perhelatan Pertemuan Para Pihak XV di kopenhagen, Denmark, 7-18 Desember mendatang bakal menjadi pertaruhan 192 negara dalam mengatasi persoalan perubahan iklim.
Dihadapkan pada situasi menjelang berakhirnya Protokol Kyoto pada 2012, muncul dua kubu di meja perundingan. Mayoritas negara maju menghendaki penggabungan kinerja Ad Hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP) dan Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA).
Sebaliknya, negara-negara berkembang memilih melanjutkan perundingan atas Protokol Kyoto hingga dihasilkan sebuah kesepakatan baru yang lebih kuat dan mengikat. Inilah persoalan pokok yang mesti dientaskan di Kopenhagen.
Persoalan perubahan iklim kian kencang terasa dampaknya di Indonesia. Bencana iklim multisektor yang terjadi di seluruh wilayah nusantara menempatkan pentingnya posisi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dalam merumuskan langkah-langkah cerdas mengatasi kian memburuknya dampak perubahan iklim, mulai kelangkaan air bersih, rusaknya ekosistem laut dan pesisir, dan memburuknya daya dukung lingkungan hidup yang berujung pada terancamnya keselamatan warga, baik di pentas perundingan iklim maupun tata kebijakan pembangunan di tingkat nasional.
Dalam lima tahun terakhir, telah banyak perundingan perubahan iklim yang dilakukan. Selang masa itu pula, prinsip-prinsip keadilan iklim tak pernah menjadi ukuran. Skema Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) adalah salah satu produk perundingan iklim yang lagi-lagi lebih mengedepankan spirit perdagangan karbon di atas keselamatan warga dan nilai ekologis.
Tak jauh berbeda, kini pemerintah kembali mengupayakan perdagangan karbon di laut Indonesia. Tindakan ini amatlah gegabah. Pasalnya, selang satu dekade penelitian mengenai laut sebagai pelepas karbon atau penyerap karbon, disimpulkan bahwa laut Indonesia tergolong laut tropik yang lebih bercorak sebagai pelepas karbon, dengan temperatur tinggi, yakni 29-30 derajat celcius. Memaksakan proposal perdagangan karbon sebagai satu-satunya pilihan untuk penanganan perubahan iklim akan semakin menjerumuskan masyarakat Indonesia. Tidak ada banyak perubahan dalam kondisi dunia dalam mengupayakan penurunan emisi, semua masih berkutat dengan pendekatan ekonomi.
Oleh karena itu, untuk kesekian kalinya Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Iklim mendesak kepada pemerintah untuk mempertimbangkan lima hal.
Pertama, mengakui, memenuhi, dan melindungi hak-hak dasar masyarakat adat, nelayan, petani, buruh, dan kelompok perempuan dalam mengatasi dampak perubahan iklim, dengan menyegerakan terlaksananya prinsip-prinsip keadilan iklim sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Deklarasi Universal Hak-hak Masyarakat
Adat, dan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982.
Kedua, membersihkan keanggotaan delegasi Republik Indonesia dari kepentingan dagang yang justru menjual urusan bangsa demi keuntungan pribadi/kelompoknya, dan memaksimalkan kinerjanya bukan untuk mengambil keuntungan dari nilai ekonomi, namun berdasar pada kebutuhan nyata masyarakat Indonesia di tingkat akar rumput.
Ketiga, menyelesaikan semua permasalahan mendasar dari kegagalan model pembangunan yang ekploitatif selama ini. Tunggakan permasalahan yang tidak diselesaikan artinya Indonesia semakin menjerumuskan warga masyarakat kedalam permasalahan yang tidak berujung.
Keempat, memperjelas posisi Dewan Nasional Perubahan Iklim sebagai lembaga yang memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengintegrasikan berbagai sektor yang terkait dengan perubahan iklim, dan mengarusutamakan prinsip-prinsip keadilan iklim.
Original Link : sains.kompas.com/read/xml/2009/12/02/18063929/lima.pesan.untuk.delegasi.iklim.indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar