Pengalaman di banyak benua dan negara-negara dunia menunjukkan bahwa kerusakan bumi dan alam sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Masing-masing negara bergerak dan berjalan maju dengan teknologi masing-masing tanpa penyadaran yang tinggi bahwa antar negara sesunguhnya saling membutuhkan dan saling bergantung, sehingga tidak sepantasnya mengembangkan teknologi tetapi justru merugikan komunitas negara lainnya. Prinsip dasar ekologi yakni saling ketergantungan dan keberlanjutan ekosistem belum menjadi pegangan dan acuan bersama antar negara.
Indikasi thesis berakhirnya alam antara lain adalah meningkatnya suhu di lautan, pristiwa rumah kaca karena meningkatnya produksi dan pemakaian CFC (chlorofluorocarbon) dan carbon monoksida (CO), rusaknya lapisan ozon, Elnino, Lanino, deforestasi, tanah longsor, banjir, kebakaran, dan penjarahan sumberdaya alam, dan lain-lain. Pemantauan awal-awal kerusakan alam dan bumi ini sudah dimulai sejak abad 19 dan masih terus berlangsung bahkan mengalami akselerasi pada penghujung abad 20 dan awal abad 21 ini. Masih akan berlangsungkah gejala-gejala akan berakhirnya alam yang kita huni ini? Adakah alternatif untuk dunia baru kita ?
Akar persoalan kerusakan alam tersebut adalah terletak pada ketidaksamaan persepsi atas realitas tentang alam tersebut. Utamanya perdebatan ketidaksamaan persepsi tersebut antara kepentingan ekonomi dan kepentingan ekologi. Sementara itu ekologi cakupannya hanya dibatasi oleh komponen ekosistem hewan dan tumbuhan saja, tanpa dikaitkan dengan keberlanjutan komponen ekosistem manusia. Gap persepsi inilah sebagai dasar diskursus ekologi yang seharusnya ditinggalkan dalam rangka mendekonstruksi pengelolaan sumberdaya alam pada masa yang akan datang. Pemisahan ekosistem manusia dengan komponen ekosistem lainnya adalah sikap yang tidak bijak terhadap alam, sebab banyak bukti komponen ekosistem manusia mampu menjadi sistem nilai yang arif dan bijak dalam menyeimbangkan pemanfaatan sumberdaya alam hutan. Alam, manusia, dan ilmu pengetahuan serta teknologi, merupakan faktor yang harus ditelaah sebagai dasar dekonstruksi pengelolaan sumbedaya alam yang seimbang.
Hipotesis dan thesis di atas tentang kepunahan dan perbaikan posisi sumberdaya hutan di Indonesia tidak cukup dipandang dari aspek teknis saja, tetapi lebih dari itu konsepnya memerlukan langkah strategis, sistematis, dan jangka panjang. Langkah strategis itu harus dimulai dari PENYADARAN semua pihak akan pentingnya “melek ekologi” bagi semua pihak. Selama ini ekologi hanya menjadi jargon semua orang tetapi tidak dipraktikkan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Bahkan dalam praktik kehidupan manusia di semua negara termasuk Indonesia, ketimpangan terjadi dimana kepentingan ekonomi industrial mendominasi pandangan ekologis. Jadi alam telah direduksi sedemikian rupa sehingga terjadi disharmoni alam dan social disorder.
Kita memerlukan paradigma baru melihat sumberdaya alam hutan kita secara holistik dan secara ekologis. Secara holistik dunia dipandang sebagai suatu keseluruhan yang terpadu ketimbang suatu kumpulan bagian-bagian yang terpisah-pisah. Secara ekologi dalam (deep ecology) dunia dipandang lebih luas dan lebih dalam lagi, dimana adanya pengakuan saling ketergantungan fundamental semua fenomena dan fakta bahwa, layaknya individu dan masyarakat, kita semua bergantung secara mutlak kepada siklis alam (Capra, 2002). Arne Naess membagi pandangan ekologis menjadi ekologi dangkal dan ekologi dalam. Ekologi dangkal bersifat antroposentris atau berpusat pada manusia, dimana manusia dipandang berada di luar alam, manusia sebagai sumber nilai, dan alam dianggap bersifat instrumental atau hanya memiliki nilai “guna” saja. Menurut pandangan Weber hal seperti ini pemanfaatan sumberdaya alam sebagai konsekuensi dari pemikiran Instrumental rationality, bukan value rationality. Dilain pihak, deep ecology berpandangan tidak memisahkan manusia atau apapun dari lingkungan alamiahnya. Deep ecology melihat dunia bukan sebagai kumpulan obyek-obyek yang terpisah tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yangs aling berhubungan dan salaing bergantung satu sama lain secara fundamental. Di dalam perspektif ini mengakui semua nilai intrinsik semua makhluk dan manusia hanya satu makhluk dalam satuan jaringan kehidupan. Menurt Naess, kesadaran ekologis harus dibangun karena kesadaran ini bersifat spiritual / religius, karena jiwa manusia dimenegrti sebagai pola kesadaran yang mempunyai rasa memiliki atas sesuatu, saling ketergantungan kepada kosmos dan penciptanya. Ekologi dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang fondasi-fondasi utama pandangan dunia dan cara hidup kita yang bersifat modern, ilmiah, industrial, berorientasi pertumbuhan dan materialistik.
Dikaitkan dengan persoalan sumberdaya hutan, maka pandangan deep ecology ini menjadi sangat menarik dan harus digunakan untuk membuat semua orang membuka mata lebar-lebar bahwa MELEK EKOLOGI harus menjadi pegangan bagi teknokrat, ilmuwan, politisi, dan masyarakat luas, untuk membangun Indonesia. Kesadaran ini tidak hanya di tingkat kebijakan, tetapi terpenting dilaksanakan pada tingkat ekonomi politik dan praktik lapangan. Ini konstruksi baru pembangunan Indonesia baru. Artinya bahwa political economic di Indonesia yang berbasis pada ekonomi industrial saja harus di dekonstruksi secara serius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar