Senin, 22 November 2010

Kehutanan Masyarakat : Konsep, Peluang, Dan Tantangan

http://sanafriawang.staff.ugm.ac.id/2010/04

Bangsa dan negara Indonesia sedang mengalami perubahan saat ini. Perubahan ini bukan tiba-tiba, tetapi telah dimulai sejak tahun 1970 an. Pergolakan politik dalam negeri dan tarik menarik kepentingan antar elit politik, kolaborasi elit politik dan pengusaha, pengusaha dan militer, dan penguasa dengan militer, telah membawa negara Indonesia menjadi sebuah hegemoni elitis yang jauh dari pembelaannya terhadap kepentingan masyarakat banyak. Para aktivis sejak tahun 1970-an sampai 1998 tiada henti melakukan kritik atas hegemoni elitis tersebut di atas. Bacaan para aktivis tentang perlunya “pencerahan peradaban” di Indonesia dipicu oleh munculnya beragam ketidak adilan, ketimpangan, kemiskinan, dominasi ekonomi kelompok minoritas terhadap kelompok mayoritas, munculnya beragam usaha-usaha bisnis yang dikuasai oleh pemerintah untuk kemakmuran pemerintah bukan untuk kemakmuran rakyat, pengalihan asset sumberdaya alam menjadi milik negara / pemerintah, dan merajalelanya liberalisme ekonomi melalui sistem pasar yang hanya akan berpihak kepada pemegang kapital dan pemegang kekuasaan. Konstitusi pasal 33 UUD 45 tinggal slogan kosong dan semakin jauh dari harapan rakyat bahwa pasal tersebut akan mampu sebagai instrumen mewujudkan kesejahteraan bagi sebagian besar masyarakat. Teori penetesan dari pertumbuhan ekonomi telah gagal dan mati di Indonesia (Trickle down effect theory).

Reformasi Indonesia sejak Mei 1998 adalah titik puncak dari keinginan pihak yang ingin segera mewujudkan era demokrasi di Indonesia. Era reformasi telah menghasilkan banyak perubahan sistem politik dan sistem sosial di Indonesia. Namun demikian kemana arah perubahan tersebut tetap menjadi masalah karena masih harus diperdebatkan. Perubahan di sektor pembangunan sumberdaya hutan yang paling mencolok selama era reformasi ini adalah : (1) semangat sentralistik menjadi desentralistik; (2) melemahnya wibawa pemerintah pusat di mata rakyat; (3) munculnya suara demokratis dari rakyat yang menggugat kepemilikan sumberdaya alam yang selama ini dikuasai oleh negara; (4) munculnya keinginan banyak pihak agar pendekatan pengelolaan sumberdaya alam tidak lagi pada “state based” tetapi berubah menjadi “community based”; dan (5) munculnya perlawanan kelompok masyarakat yang selama orde baru tersingkirkan melalui cara-cara gerakan penjarahan hutan secara massive, dll.

Ada 3 tantangan besar untuk menilai apakah paradigma CF / KM benar menurut prinsipnya yaitu :

(1) Masihkah State Based Program?

Dalam konsep dan pelaksanaannya CF harus benar-benar menggambarkan pemberdayaan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan negara dan pemerintah, tetapi untuk kepentingan masyarakat sendiri. Namun demikian, hutan negara yang dikelola oleh organisasi formal dan non formal masyarakat tidak berarti meniadakan peran pemerintah dan Dinas Kehutanan, sebab kuncinya terletak kepada pembagian peran masing-masing stakeholders. Jika ternyata program-program yang mengatas namakan CF atau CBFM ternyata tetap memberikan peluang manfaat kecil kepada masyarakat, maka hal tersebut menunjukkan bahwa CF belum mengenai sasaran konsep. Semangat comm. Based harus tercermin di dalam CF. Mampukah pihak pemerintah melalui Dinas Kehutanan menerima gagasan seperti ini?

(2) Adakah External Capital Akan Menguasai Sistem CF ?

Demikian pula halnya jika di lihat dari aspek kapital investmen. Apakah program CF tidak mengalami bias neo-liberalism, dimana semua aspek ekonomi sumberdaya diserahkan kepada mekanisme pasar, dan membiarkan para pemilik kapital menginvestasikan modalnya pada usaha-usaha CF ? Jika CF menjadi demikian terbuka terhadap investasi luar, maka sangat dikhawtirkan konsep CF justru membuka peluang baru bagi kehancuran ekonomi rakyat desa hutan. Bukankah hal ini sudah terjadi di bandung Selatan, bandung Utara, dataran tinggi Dieng, malang, dan taman nasional ?
Katakanlah dengan model CF “khas Sumatera barat”, peluang invenstor masuk untuk menanam tanaman komersial sangat terbuka, kolaborasi antara Pemerintah Daerah dengan pengusaha sangat besar peluangnya. Bagaimana dengan masyarakatnya ? Jika ini yang terjadi maka paradigmanya telah bergeser dari CF yang community based menjadi CF yang economic based atau market based. Apakah memang hal ini yang diinginkan oleh semua pihak di Sumatera Barat ?

(3) Apakah CF mampu Meningkatkan Jaminan Sosial Masyarakat ?

Jika CF sangat terbuka dengan investor luar, maka kecendrungan economic based memang besar, dan itu artinya bahwa keberlanjutan sumberdaya hutan sulit untuk dipertahankan. Dalam situasi dimana CF dikuasai oleh investor, maka kembali masyarakat menjadi PENONTON dan invenstor menjadi rajanya. Apabila paradigam CF di dalam pelaksanaannya tidak mampu menjamin kesejateraan sosial anggota masyarakatnya, maka tidak ada gunanya jargon CF dipakai di dalam program-program kehutanan. Demikian pula tidak ada gunanya jargon CF khas Sumatera Barat digunakan jika penguasaan modal masih berada di tangan pengusaha.

(4) Kelembagaan CF

Kata kunci dari tiga masalah di atas sebenarnya terletak pada kemampuan masyarakat itu sendiri dalam mengembangkan dan melaksanakan CF secara benar berdasarkan kriteria pada tabel 1 di atas. Sangatlah penting untuk memperkuat organisasi masyarakat pengelola CF agar mereka memahami dengan benar hak dan kewajiban atas sumberdaya hutan. Hanya dengan institusi sosial yang kuat, peranti organisasi dan norma-norma yang benar yang dibangun di dalam institusi sosial masyarakat, program CF akan dapat berlangsung dengan baik. Kelembagaan bukan hanya terbatas pada membentuk organisasi masyarakat, tetapi harus lebih menjangkau batas-batas yuridiksi atas lahan, permodalan, dukungan kebijakan, dan pemberdayaan yang demokratis.

Tulisan singkat ini diharapkan dapat dijadikan bahan pemicu diskusi yang lebih produktif oleh semua pihak yang hadir, baik dari pemerintah daerah, anggota DPRD, masyarakat desa, tokoh masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi, pengusaha, Dinas Kehutanan, dan Departemen Kehutanan. Pengakuan oleh pemerintah atas inisiatif-inisiatif masyarakat harus dihargai dan diberi tempat sehingga pemerintah yang bertindak sebagai fasilitator mampu memfasilitasi inisiatif-inisiatif CF di dalam kawasan hutan negara. Hanya dengan kesepahaman antar pihak saja, kita dapat menyelamatkan sumberdaya hutan di Sumatera Barat dari kehancuran yang mengerikan. Pada masa yang akan datang, dengan sistem politik lokal yang semakin kuat, diharapkan sumberdaya hutan dapat dikelola oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan organisasi masyarakat di bawah konsep dan paradigma community forestry / social forestry dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar