Kamis, 18 November 2010

Konstruksi Pengetahuan KPH Sebagai Usaha Bersama Masyarakat

sumber: http://sanafriawang.staff.ugm.ac.id/2009/07

Sejak awal tulisan ini perlu disampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan masyarakat dalam konteks pengelolaan hutan di Indonesia. Apa sesungguhnya yang ada di dalam pemikiran dan konsep pembangunan hutan tentang masyarakat? Dimana posisi masyarakat dalam pembangunan hutan secara umum? Kehadiran kebijakan tentang pembentukan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) bukan KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) memberi tantangan baru bagi posisioning masyarakat di dalam pembangunan hutan di Indonesia. Apa sesungguhnya spirit dari pembentukan KPH ini? Apakah sebagai bagian dari pemecahan masalah yang dikaitkan dengan kepentingan pelestarian sumberdaya hutan sebagai syarat pengurangan pasok karbon ke atmosfer ? Apakah sebagai langkah kooptasi pemerintah terhadap masyarakat agar takluk dengan pengetahuan negara? Apakah sebagai upaya mensejahterakan rakyat sekitar hutan? Mengapa semua ini perlu ditanyakan, karena secara konsepsional selama ini posisi rakyat dan masyarakat hanya diletakkan sebagai “pelengkap penderita” dan “pemadam kebakaran” dalam kebijakan dan penerapan kegiatan kehutanan di Indonesia. Apakah ada dasar yang kuat terkait dengan pemberian peran pada masyarakat dalam kerangka kerja KPH menurut aturan pemerintah? Apakah konsep keadilan sosial yang menjadi spirit dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi acuan dalam kerangka kerja KPH ?

Konstruksi masyarakat dalam siklus pembangunan dan pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sangat terkait dengan desain kawasan hutan yang dipersiapkan untuk masyarakat di dalam sistem KPH tersebut. Data tentang kawasan hutan di Indonesia sangat bervariasi. Ada laporan yang menyebutkan bahwa hutan di Indonesia akan habis pada tahun 2007-2010, tetapi kenyataannya tidak terbukti. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya rasionalisasi kawasan hutan di Indonesia untuk memantapkan langkah-langkah pengelolaan hutan yang lebih baik. Untuk kepentingan rasionalisasi tersebut diperlukan pemahaman tentang “jangka benah” hutan Indonesia, dan dukungan kelembagaan yang sesuai untuk mendukung semua proses dalam jangka benah tersebut. Pembentukan KPH adalah dalam rangka jangka benah tersebut. Rasionalisasi berarti pengurusan hutan ke depan di Indonesia didasarkan atas data-data faktual lapangan, dengan tetap memperhatikan tata aturan yang berlaku (Awang, 2007).

Konstruksi pengetahuan untuk pembentukan dan pelaksanaan konsep KPH tentu saja memiliki banyak mazhab. Karena mazhab yang banyak itu cenderung berbeda-beda, maka harus ada kata putus untuk memilih mazhab mana yang akan di pakai, atau semua mazhab dipakai. Apapun pilihan yang akan diambil. Maka masih sudah selayaknya diikuti dengan kelengkapan regulasi, dukungan kemampuan /kompetensi SDM, kelembagaan yang tepat.

Tulisan ini menempatkan KPH sebagai usaha bersama masyarakat, artinya spirit yang digunakan adalah spirit Koperasi sebagai bentuk nyata perwujudan dari pasal 33 UUD 1945. Wacana Koperasi ini sangat wajar dan sudah seharusnya karena ada upaya melibatkan peran masyarakat dalam pelaksanaan KPH tersebut. Ketika wadah koperasi sebagai pilihan, maka permasalahan utamanya terletak pada 3 pilar dasar tersebut di atas, yaitu: (1) siapa stakeholders pemilik /pemanfaat sumberdaya hutan dalam konsep KPH; (2) Siapa diantara stakeholders yang akan ditetapkan sebagai pengawas berlangsungnya pelaksanaan KPH ?; dan (3) bagaimana cara sisa hasil usaha dibagikan kepada stakeholders dan anggotanya? Kendala utama dalam KPH sebagai usaha bersama masyarakat adalah belum ada konsep yang didiskusikan secara mendalam oleh pihak-pihak terkait, dan kelihatannya kebijakan yang tersedia tidak memasukkan koperasi sebagai salah satu alternative. Kalau demikian adanya, filosofi dan ideology apa yang digunakan oleh pemerintah dalam membangun KPH yang berkeadilan bagi masyarakat? Bukankah ini Indonesia? Haruslah ideology Indonesia yang dipakai sebagai rujukan.

Mengingat pentingnya status dan posisi KPH dalam system pengelolaan hutan lestari di Indonesia, maka pencermatan secara kritis harus tetap dilakukan. Pengambilan keputusan yang kurang tepat, apalagi konsep KPH berusaha memadukan dengan partisipasi masyarakat, maka bangun usahanya harus secara jelas melibatkan masyarakat sejak konsepnya di buat. Tulisan ini bagian kecil dari pemikiran yang menurut kami layak untuk diperdebatkan. Konstitusi dasar Indonesia pasal 33 UUD 1945 selayaknyalah menjadi bahan rujukan utama dalam membangun keadilan sosial di Indonesia, bukan menggunakan tolok ukur ideology Negara lain. Semoga ada manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar