Pembangunan Nasional adalah suatu proses kegiatan bangsa untuk memenuhi keinginannya menuju kondisi yang lebih baik. Selama era orde baru bangsa Indonesia telah bereksperimen melaksanakan pembangunan dimaksud. Namun, nampaknya hasil yang dicapainya belum sepenuhnya mampu menempatkan gerakan pembangunan dalam jalur perjalanan yang dicita-citakan bangsa ini. Berbagai analisis oleh para ahli, antara lain selalu ditunjukkan bahwa ketidakseimbangan peran berbagai kepentingan komponen adalah sebagai salah satu indikator yang ikut andil dalam proses pembangunan tersebut tidak berjalan harmonis, baik komponen SDM (baru terbatas sebagai obyek belum subyek) maupun komponen Sumber Daya Pembangunan lainnya (non SDM). Dalam pengertian makro, tujuan pembangunan nasional lebih banyak ditentukan oleh politik ekonomi yang dipegang oleh pemerintah yang berkuasa.
Peranan sektor kehutanan dalam era orde baru seperti yang selalu diberitakan oleh para pakar selalu disebut sebagai yang sangat manis, yakni berperanan sangat besar terutama dalam perolehan Devisa (kedua setelah minyak bumi). Peran kuantitatif sektor kehutanan tersebut karena didukung oleh ekonomi politik yang menyebabkan terjadinya “boom kayu” di awal tahun 1980-an. Namun, memitoskan peranan sektor SDH dalam pembangunan yang seperti itulah sebenarnya yang memposisikan sektor kehutanan dalam kondisi seperti yang sekarang, yang sangat sulit untuk bangkit lagi setelah mulai menampakkan kecenderungan menuju ke kondisi hutan yang porak poranda dan “chaos”. Itu berarti bahwa apabila suatu saat peranan yang demikian itu hilang maka sektor kehutanan menjadi terpinggirkan (dianggap tidak penting dibanding sumberdaya ekonomi di sektor lain). Apakah yang demikian itu adalah benar ?
Krisis di sektor kehutanan Indonesia yang merupakan self-rushing (perusakan diri sendiri) baik perusakan aktiva hutan yang tidak berdasarkan prinsip kelestarian (baik perusakan terhadap fisik maupun perusakan terhadap aktiva lancar (dana) yang diperoleh dari hutan), pada hakekatnya sudah berlangsung sejak awal era orde baru. Krisis seperti itu, diramalkan para pakar sebagai yang akan terus berlansung, sampai dengan tegakan hutan Indonesia habis tak tersisa lagi. Kenapa para pakar sampai kepada ramalan bahwa krisis penghancuran hutan ini tidak akan terbendung lagi ? Kompleksitas masalah krisis ini sudah sering dikemukakan oleh banyak kalangan dalam berbagai pertemuan: kepastian hukum, Otda, PAD, ekonomi masyarakat, dsb. Namun apabila kesemuanya itu diperas menjadi satu, akan bermuara pada terminologi terjadinya “krisis kebudayaan nasional” kalau belum dapat dikatakan sebagai “masih rendahnhya kualitas kebudayaan nasional”.
Salah satu kriteria tinggi rendahnya kebudayaan (culture), adalah keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan umum. Memahami kebudayaan harus di lihat dari dua aspek yaitu, pertama, kebudayaan dilihat dari sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat; dan kedua, kebudayaan di lihat dari bentuk tindakan yang sering disebut dengan artificial culture. Kebudayaan sebagai satu nilai sifatnya sangat normative, menyangkut hal-hal yang seharusnya dilaksanakan satu momunitas masyarakat. Kebudayaan sebagai satu artificial culture terkait dengan hal-hal atau tindakan-tindakan dalam komunitas masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan lain-lain, sebagai satu produk pemikiran saat tertentu. Permasalahan SDH di Indonesia terkait dengan dua nilai kebudayaan tersebut. Artificial culture biasanya sangat dipengaruhi oleh sistem politik dan politik ekonomi pemerintah yang berkuasa. Dalam hal kebijakan SDH di Indonesia rational choice seperti apa yang dipilih untuk mendukung tujuan pembangunan nasional, biasanya berpihak kepada apa yang disebut oleh Max Weber sebagai rational instrument, artinya pemilihan kebijakan dan politik ekonomi yang diambil terkait dengan “kepentingan penguasa”.
Laju pengrusakan hutan dalam berbagai bentuknya, saat ini dinilai oleh banyak fihak sebagai yang sangat memprihatinkan, sampai memunculkan dugaan bahwa proses ini tidak akan terbendung sampai dengan seluruh SDH yang terjangkau manusia habis. Dugaan ini terutama didasarkan atas kelangkaan dana yang perlu dialokasikan secara memadai bagi pembiayaan proses pencegahannya, maupun terjadinya krisis kebudayaan di seluruh lapisan masyarakat (dari mulai grass root sampai dengan elis) yang belum bagus dalam memberikan penghargaan kepada kepentingan bersama (public property)-nya.
Mengatasi hutan yang terlanjur rusak harus menjadi tekad kuat bagi seluruh rimbawan Indonesia. Hanya saja untuk menyelesaikan ragam masalah tersebut terlebih dahulu menciptakan prakondisinya. Prakondisi dimaksud adalah dengan mengembalikan pemikiran bahwa hutan sesungguhnya merupakan domain publik yang harus diawasi oleh publik juga. Siapapun pengelola SDH harus mampu memberi peluang kepada publik untuk ikut mengawasi peruntukan, pengelolaan, pengawasan, dan pemantauan atas SDH tersebut. Pada saat yang sama persoalan-persoalan kebudayaan bangsa, praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dapat diselesaikan secara elegan. Ke depan harus ada upaya membangun usaha kolaborasi antar stakeholders (masyarakat, pengusaha dan pemerintah). Namun demikian khusus untuk daerah hutan yang terlanjur di okupasi rakyat, perlu diselesaikan dengan sistem penyelesaian tenurial yang khusus, sistem bagi hasil, dan penguatan kelembagaan yang baik.
Semua di atas pada gilirannya akan menghadapi kendala juga manakala SDH masih diposisikan sebagai sector yang diharapkan mampu mendulang devisa dari kayu. Harapan ke depan, SDH Indonesia tidak lagi menjadi mesin pencetak uang demi pembangunan, tetapi diposisikan sebagai mana mestinya yaitu sebagai penyangga kehidupan dalam ekosistem sumberdaya alam. Devisa tentu saja merupakan hal yang harus dipikirkan, dan untuk itu ekonomi politik SDH hendaknya dikembangkan atas dasar bisnis jasa-jasa, pariwisata, perdagangan karbon, dan kembangkan bahan obat-obatan dari hutan alam Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar