Menuju Realisasi Kesepakatan RI-Norwegia
FKKM-- Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan meminta semua pihak turut membantu terealisasinya LoI (Letter of Intent) atau kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Norwegia terkait pengurangan Emisi Gas Karbon Rumah Kaca dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan. “Pemerintah sudah banyak melakukan upaya-upaya, termasuk dikeluarkannya Kepres maupun Inpres untuk mendukungnya. Kemenhut juga sudah menstop dikeluarkan izin konversi terhadap hutan alam primer dan lahan gambut. Izin baru akan distop tetapi yang lama tetap dijalankan dengan beberapa perbaikan,” kata Menhut dalam pidatonya pada seminar di Jakarta (28/7). Kebijakan-kebijakan tersebut dijanjikan Menhut tidak akan mengorbankan kepentingan siapapun, termasuk kepentingan pengusaha yang mungkin merasa terancam dengan adanya kebijakan tersebut. Kemenhut juga sudah mempersiapkan provinsi percontohan untuk penerapan LoI ini. Anggota DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) Doddy S Sukardi menambahkan saat ini juga berada dalam tahap mempersiapkan pembentukan lembaga Badan Reducing Emision Form Deforestation and Degradation (REDD) Plus yang merupakan lembaga Independen yang memonitor, melaporkan, dan memverifikasi pengelolaan hutan (MRV). Pandangan berbeda disampaikan Anggota Komisi IV DPR RI, Viva Yoga Mauladi yang mengatakan bahwa usaha pelestarian maupun pengurangan emisi jangan terpaku pada LoI yang bahkan belum berkontribusi sepeser pun kepada Indonesia. “Pencairan dana sebesar satu miliar euro ini sangat bergantung pada persetujuan parlemen Norwegia. Segala hal bisa saja terjadi. Indonesia harus mempersiapkan kemungkinan ini juga,” kata Yoga. Perlu dipertimbangkan matang-matang semua kemungkinan agar pemerintah tidak terjebak dalam kesepakatan tersebut. Yoga meminta pemerintah terus membicarakan mengenai aturan kesepakatan ini secara tegas. Agar tidak ada pihak yang dirugikan, termasuk pengusaha. Terutama pengusaha sawit yang mungkin akan terkena imbas. Perlu ada inovasi mengenai peningkatan produksi dengan menggunakan lahan yang ada. Sementara dari praktisi kehutanan yang diwakili oleh Komda APHI Kaltim, Alfonso Purba mengibaratkan kesepakatan ini sebagai pedang bermata dua. Meski melahirkan peluang bantuan pendanaan dalam pengelolaan hutan lestari dan pencegahan deforestrasi, namun disisi lain juga bisa menyebabkan stagnasi investasi dan ketidakpastian hukum di sektor kehutanan. Dunia usaha juga mengharapkan adanya kejelasan mengenai bidang hukum maupun pendanaan. “Siapa yang akan menerima dan berapa yang akan diterima? Perlu sosialisasi mengenai kebijakan-kebijakan tersebut, sehingga dapat terealisasi dan memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya,” kata Alfonso.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar