Minggu, 21 November 2010

Partisipasi Multikulturalisme Di Era Otonomi Daerah

http://sanafriawang.staff.ugm.ac.id/2010/01

Partisipasi dipercaya oleh banyak pihak dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen untuk melakukan perubahan sosial, baik dalam arti proses maupun dalam arti output. Banyak cara untuk mencapai tujuan misalnya melalui cara pemaksaan kehendak yang berkuasa, melalui proyek dan program yang topdown, dan “claim” sepihak dari orang-orang atau kelompok tertentu yang mengatasnamakan pembangunan. Sekian banyak aktor yang terlibat di dalam pembangunnan telah menghasilkan pandangan, persepsi dan pengertian yang berbeda tentang partisipasi tersebut.

Dalam banyak kegiatan pemerintah, istilah partisipasi sering diartikan sebagai bentuk keikutsertaan masyarakat dalam sebuah kegiatan. Keikutsertaan tersebut selalu diukur dari upaya-upaya memobilisasi tenaga kerja rakyat dalam sebuah kegiatan. Menurut Hobley (1987) bentuk partisipasi seperti ini disebut dengan partisipasi semu. Model partisipasi lainnya adalah apa yang disebut dengan partisipasi perwakilan yaitu keterlibatan masyarakat dalam sebuah kegiatan pembangunan hanya diwakili oleh orang-orang tertentu saja. Partisipasi seperti ini banyak dilakukan karena jumlah masyarakat banyak dan tidak mungkin dilibatkan secara satu persatu. Partisipasi sejati adalah keterlibatan yang dilakukan oleh setiap individu atau kelompok masyarakat atas dasar kehendak sendiri terhadap sesuatu yang dirasakan memberi manfaat , dan keterlibatan tersebut meliputi semua aktivitas dari awal sampai akhir proses (Hobley, 1987).

Perkembangan LSM di Indonesia sangat pesat setelah paska reformasi tahun 1998. Pada tahun 1995 jumlah LSM sekitar 3.225 organisasi. Tahun 1990 jumlah LSM di Indonesia menjadi 8.720, dan tahun 2000 jumlah LSM mencapai 13.400 (yang terdaftar), sementara yang tidak mau mendaftarkan banyak (Info Bisnis, september 2001). Dari sekian banyak data LSM di atas berapa jumlah LSM yang ada di Propinsi Jambi dan tersebar di kabupaten mana saja, tidak ada informasinya. Katagori LSM di Indonesia ada 5 yaitu: (1) berdasarkan penyebarannya; (2) berdasarkan tipologinya; (3) berdasarkan kepedulian bidang; (4) berdasarkan ideologi; dan (5) berdasarkan sumber dana.

Berdasarkan penyebarannya, pada awalnya LSM banyak tersebar di Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Barat (termasuk Jakarta). Kemudian berkembang ke arah Jawa Timur dan DIY. Setelah tahun 1980-an LSM banyak terbentuk di Sumatera Utara, Aceh, Jambi dan Riau, Pulau Sulawesi secara keseluruhan, kalimantan Timur, kalimantan barat, Kalimantan Selatan, Maluku, dan Papua.

Berdasarkan tipologinya, LSM terdari atas LSM individual, LSM yang tersusun atas dasar jaringan / aliansi, dan LSM konsorsium. Berdasarkan pada kepedulian bidang misalnya bidang kesehatan, lingkungan, kehutanan, kelautan dan pantai, kemiskinan desa dan kota, perburuhan, pendidikan, keagamaan, penerbitan, pertanian dan perkebunan, HAM, tambang, wisata, goa-goa, dan lain-lain. Sejak tahun 1998 banyak LSM fokus kepada pemberdayaan masyarakat dan perubahan kebijakan. Berdasarkan ideologinya LSM dikelompokkan kedalam : (1) LSM aliran kanan; (2) LSM aliran kanan; dan (3) LSM aliran tengah

Dengan bebekal pengalaman pribadi kami bergaul bersama-sama LSM, beberapa hal yang perlu diketengahkan berkaitan dengan “potret” LSM yang kami anggap sebagai masalah-masalah,dan masalah ini justru sebagai faktor-faktor yang menjadi penyebab susahnya antar LSM dapat duduk bersama, refleksi bersama, dan berkomunikasi bersama-sama untuk mewujudkan VISI LSM, yaitu:

  1. Orientasi awal mendirikan LSM berbeda satu sama lain, sehingga dalam implementasinya menimbulkan keberpihakan pada gerakan yang tidak sesuai dengan VISI umum LSM. Tipologi LSM yang lain seperti LSM sejati, LSM pedati, dan LSM merpati, sering sangat bermasalah di tengah masyarakat, sehingga LSM itu sering dipuja dan sering di benci oleh masyarakat dan institusi pemerintah atau Perguruan Tinggi;
  2. Manajemen LSM itu tertutup. Banyak publik tidak memahami apa yang menjadi kegiatan LSM. Dipermukaan, LSM dikenal sebagai aktor intelektual demonstrasi yang selalu bermusuhan dengan pemerintah;
  3. Antar LSM hampir tidak pernah melakukan komunikasi program sehingga sering overlapping satu sama lain.
  4. Kejujuran dan keterbukaan sesama LSM masih belum terbangun. LSM selalu mendengungkan transparansi, tetapi hal tersebut secara internal masih harus dibangun di dalam organisasi LSM;
  5. Visi umum LSM sering tidak dipahami oleh LSM tertentu;
  6. Kecurigaan antar LSM sangat tinggi, sehingga sering menimbulkan friksi yang tidak produktif;
  7. Sering terjadi agenda yang di bawa oleh LSM bukan agenda rakyat, tetapi agenda LSM sendiri. Kartena itu hal ini tidak strategis;
  8. Rataan informasi yang diperoleh antar LSM tidak sama. Misalnya tentang informasi isu, agenda-agenda sosial dan pembangunan, serta sumber-sumber dana. Ada LSM yang sangat sibuk dan ada sebagian LSM yang sepi dari kesibukan.
  9. Sering muncul perbedaam keras antar LSM karena persoalan-pesoalan disekitar “ideologi” masing-masing. Contoh seperti ini terjadi di Sulawesi tengah dengan kasus “Dongi-Dongi”.

Partisipasi multikulturalisme dalam mendorong otonomi daerah perlu dibangun guna mencari format perbedaan dan persamaan semua aktor pembangunan yang ada. Pendekatan ini sebenarnya dapat dicoba sebagai salah satu cara menjaga agar tidak terjadi disintegrasi sosial yang tidak perlu. Integrasi sosial baru memang diperlukan di Jambi, sebab saat ini bangsa Indonesia sedang dalam proses membangun demokrasi dari bawah melalui format politik otonomi daerah. Pembelaan terhadap posisi rakyat dalam pembangunan di daerah harus menjadi fokus perjuangan dan gerakan dari seluruh LSM, apapun katagori LSM nya. Kita berharap agar partisipasi sejati yang dimaksud oleh Hobley dapat terbangun di jambi dengan pendampingan dari LSM. Mudah-mudahan makalah ini dapat dijadikan bahan refrensi otokritik untuk gerakan LSM ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar