Perubahan kebijakan di sektor kehutanan yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan sejak tahun 1998 sampai tahun 2002 sering sekali mengandung kontroversi di tengah masyarakat, baik masyarakat pengusaha, masyarakat politik, pemerhati, pemerintah daerah, dan di kalangan pengusaha. Ragam kebijakan tersebut mencakup upaya-upaya perbaikan pada sumberdaya hutan, penataan organisasi internal, mengelola tekanan internasional seperti World Bank dan International Monetary Fund (IMF), serta bersikap sedikit adaptif terhadap kepentingan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Beberapa Menteri Kehutanan seperti Muslimin Nasution, Nurmahmudi, dan Marzuki Usman, tidak memiliki program unggulan yang fokus, sehingga implimentasi perubahan tidak dapat dipantau, tentu disamping karena terlalu cepatnya Menteri berganti sebagai akibat dari pengaruh politik dagang sapi di dalam kabinet pemerintah yang berkuasa.
Menteri kehutanan M. Prakosa dengan segala macam warisan permasalahan hutan yang disandangnya, kelihatannya berupaya “menegakkan benang basah” diantara banyak hal yang muskil untuk dilakukan, tetapi terpaksa harus dilakukan, demi menyelamatkan sumberdaya hutan Indonesia pada masa yang akan datang. Ada lima program unggulan Departemen Kehutanan yang akan dibungkus dengan 1 program payung Social Forestry (kehutanan sosial). Lima program unggulan dan fokus tersebut adalah: (1)Pemberantasan penebangan haram, (2) Pencegahan kebakaran hutan, (3) Restrukturisasi industri kehutanan, (4) Melakukan rehabilitasi hutan dan pembangunan hutan tanaman industri; dan (5)mendorong desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan.
Satu hal yang pasti dalam kontek kehutanan sosial sejak 1986 sampai sekarang adalah bahwa pembangunan kehutanan sangat dekat dengan pembangunan pedesaan, dan oleh karena itu strategi kehutanan sosial sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan pembangunan masyarakat desa hutannya. Oleh karena itu melangkah ke KEHUTANAN BARU INDONESIA melalui paradigma kehutanan sosial, haruslah disepakati dasar-dasar kesepahaman seluruh stakeholders, sehingga TIDAK SALING MENJEGAL ditengah perjalanan. Dasar kesepahaman tersebut antara lain mencakup:
- Epistemologi kehutanan sosial (KS): apakah ada kesepahaman tentang perubahan sosial menuju demokratisasi pengelolaan SDH, dan apa mandat KS ini (timber based atau eksositem based)
- Penghargaan atas HAM masyarakat sekitar hutan
- Ruang kelola rakyat dan organisasinya atas sumberdaya alam harus jelas
- Ruang kelola pemerintah dan organisasinya atas sumberdaya hutan harus jelas
- Berkeadilan, transparan, dan demokratis
- Sosiologi politik SDH : hubungan negara dan rakyat dipertegas dan jelas atas sumberdaya hutan
- Politik ekonomi konservasi untuk melindungi sosial budaya masyarakat
- Keseimbangan ekosistem hutan
- Kebijakan : memperjelas SDM pelaku KS, administrasi profesional, dan penetapan lokasi kehutanan sosial, sinkronisasi kehutanan sosial dengan kepentingan pemda membangun perusahaan Daerah, lokasi pelaksanaan KS, manfaat KS, dan mengembangkan unit manajemen KS yang sesuai dengan spesifikasi wilayah masing-masing.
Semangat populis saja tidak cukup untuk mengembangkan strategi dan program kehutanan sosial (social forestry) di Indonesia. Perhitungannya harus cermat dan konsepnya harus memberi dasar-dasar yang sangat kuat mengapa Indonesia kembali mendorong program kehutanan sosial tersebut. Lokasi implementasi kegiatan kehutanan sosial dapat pada lahan milik masyarakat, hutan adat, dan kawasan hutan milik negara. Kawasan hutan negara yang layak untuk ditetapkan menjadi kawasan model kehutanan sosial adalah semua fungsi hutan, kawasan berhutan, kawasan hutan berpotensi rendah, semak belukar dan tanah kosong, hutan lindung, dan hutan konservasi. Sementara kawasan hutan milik juga diterima sebagai bentuk-bentuk kehutanan sosial. Khusus untuk kawasan hutan eks eksploitasi HPH dan eks kawasan HTI yang ditinggalkan dan juga yang di cabut oleh pemerintah, untuk selanjutnya dapat dibangun melalui program kehutanan sosial (social forestry). Catatan penting dari paradigma dan program kehutanan sosial di Indonesia adalah melaksanakannya di lapangan sesuai dengan kebutuhan wilayah masing-masing. Sikap pemerintah yang selalu ingin “cetak biru” , “seragam”, dan ” uniformitas” program kehutanan sosial dan ditentukan di Departemen Kehutanan jakarta adalah cara-cara yang harus ditinggalkan. Pemerintah pusat hanya perlu membuat bingkai (frame) yang memberi kewenangan kepada stakeholders di daerah untuk melakukan inovasi yang bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar