Selasa, 06 Juli 2010

Petani Inginkan Kepastian Lahan Diharap Pemerintah Memfasilitasi

Petani Inginkan Kepastian Lahan Diharap Pemerintah Memfasilitasi

: 2010-05-03

Lahan yang timbul akibat sedimentasi Sungai Citanduy itu sejak beberapa tahun terakhir diklaim masuk wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan Perhutani Banyumas Barat.

Empat kecamatan tersebut adalah Kampung Laut, Gandrungmangu, Kedungreja, dan Patimuan. Saling klaim lahan tanah timbul antara petani dan Perhutani tersebut mengakibatkan 13 petani dipenjara dalam waktu tiga tahun terakhir.

”Sudah bertahun-tahun masalah ini belum terpecahkan secara adil. Kami sudah mengajukan surat kepada Presiden agar difasilitasi penyelesaian sengketa ini, tetapi hanya dijawab Perhutani dengan sistem PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat),” kata Ketua Umum Serikat Tani Merdeka Jawa Tengah Habibullah, Minggu (2/5).

Menurut Habibullah, lahan seluas 5.140 hektar di empat kecamatan tersebut dulunya adalah rawa-rawa. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, rawa-rawa itu menjadi tanah milik negara.

Pada masa kemerdekaan, lanjutnya, tanah rawa tersebut menjadi lahan tidur tak tergarap.

Seiring dengan menumpuknya sedimentasi Sungai Citanduy, rawa-rawa itu berubah menjadi lahan timbul. Tahun 1980-an, petani di sekitar rawa mulai mengolah lahan timbul itu sebagai lahan pertanian dan permukiman. Petani juga turut menguruk bekas rawa tersebut sehingga bisa menjadi ladang dan permukiman.

Saat ini, sekitar 7.000 petani menggarap lahan 5.140 hektar itu. Di Desa Cimrutu, Kecamatan Patimuan, di atas tanah timbul itu telah didirikan balai desa.

PP No 30/2003

Mendasarkan peta yang dibuat Pemerintah Belanda tahun 1941, Perhutani tahun 1999 mengklaim ribuan hektar tanah timbul tersebut. Sejak saat itu, sengketa lahan antara petani dan Perhutani terjadi.

”Dengan memanfaatkan CSR (corporate social responsibility), ada perusahaan yang menanami tanah timbul itu dengan kayu putih secara sepihak. Pernah ada petani yang tanpa sengaja merusak tanaman kayu putih itu dipidanakan dan dipenjarakan. Padahal, status tanah itu kini masih sengketa,” tutur Habibullah.

Warga berharap pemerintah segera memfasilitasi antara petani dan Perhutani. Apabila pemerintah menyatakan bahwa lahan tersebut merupakan tanah negara, petani tidak keberatan. Asalkan setelah itu ada kejelasan legalitas mengenai pengelolaan lahan tersebut.

”Terus terang, kami sekarang khawatir karena statusnya memang tak jelas. Ini tanah timbul yang sudah bertahun-tahun kami garap. Dulu orang-orang kami ikut menguruk lahan ini. Tapi, mengapa sekarang diklaim perusahaan? Ada juga petani yang malah dipenjara,” tutur Slamet Karsono (40), petani di Desa Cimrutu.

Sebagaimana warga yang lain di atas lahan 5.140 hektar itu, Slamet tidak memiliki sertifikat atas tanah yang ditempatinya. ”Makanya, kami sangat berharap pemerintah segera menyelesaikan secara adil agar tak menggantung seperti ini,” katanya.

Administrator Kesatuan Pemangkuan Hutan Perhutani Banyumas Barat Agus Ruhiyana mengatakan, status lahan 5.140 hektar itu adalah kawasan hutan dengan tujuan istimewa (KHDTI). Ini sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan tahun 1978.

”Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2003, lahan KHDTI itu pengelolaannya diserahkan kepada Perhutani,” kata Agus. (HAN)

Kompas, 3 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar