Partisipasi WWF-Indonesia pada forum AFP 2010
Sebagai salah satu upaya menuju manajemen hutan berkelanjutan, WWF-Indonesia ikut ambil bagian pada pertemuan tahunan Asia Forest International (AFP), “The Ninth Meeting of the Asia Forest Partnership and Asia Forest Dialogue 2010,” selama dua hari sejak Kamis (07/08) hingga Jumat (09/08) di Ayodya Resort, Bali. Dialog AFP 2010 yang mengusung tema “Tantangan tata kelola kehutanan dibalik perjanjian Kopenhagen (Forest Governance Challenges Beyond Copenhagen)” mendiskusikan keterkaitan antara REDD+ dan tata kelola pemerintahan khususnya pada sektor kehutanan.
Dialog yang digelar selama dua hari tersebut merupakan kolaborasi Pemerintah Jepang, Pemerintah Indonesia, dan CIFOR, serta didukung oleh the EU’s European Forest Institute Forest Law Enforcement, Governance & Trade Asia Regional Support Programme (FLEGT Asia), dan The US Agency for International Development’s RAFT-TNC. Forum AFP tersebut memberikan kesempatan bagi para pemangku kepentingan di berbagai wilayah yang memiliki hutan tropis untuk berbagi informasi, mengembangkan kerjasama, dan mengajukan rekomendasi bagi para pembuat kebijakan.
Pertemuan tahunan AFP 2010 dibuka oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Boen Purnama yang mewakili Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Koordinator Sekretariat AFP yang juga CEO WWF-Indonesia Efransjah, Wakil Donor Takuo Sato, dan Direktur Jenderal CIFOR Frances Seymour.
“Perubahan iklim dan tata kelola kehutanan adalah dua isu yang saling terkait yang seharusnya saling memperkuat dan mendukung satu sama lain. Saya rasa isu tersebut sangat relevan dan saya ingin mempelajari ide dan saran yang dihasilkan dari dialog ini,” ujar Boen Purnama.
Saat Indonesia sedang fokus dalam mengatasi perubahan iklim, ia menambahkan, perhatian terhadap tata kelola hutan juga tidak boleh luput dari perhatian. “Tata kelola hutan yang baik dibutuhkan dalam pembuatan kebijakan untuk REDD+ termasuk sistem Measuring, Reporting and Verification (MRV) dan distribusi keuntungan. Saya berharap dialog ini akan menghasilkan ide dan rekomendasi untuk mensukseskan mekanisme REDD+ dan tata kelola hutan,” katanya.
Pada forum tersebut, Direktur GCCE (Governance, Corporate Engagement, and Community Empowerment) WWF-Indonesia Nazir Foead menggarisbawahi pentingnya pengelolaan lahan gambut dalam mensukseskan REDD+ sekaligus juga menambah pendapatan suatu wilayah. Dalam presentasinya, ia menyimpulkan penguatan hukum dan kelembagaan dalam menangani praktik deforestasi lahan gambut ilegal mampu menciptakan peluang bisnis.
“Kegiatan penanaman rata-rata di lahan gambut mampu mengeliminir 142 ton/hektar setiap tahunnya. Selain itu dapat pula memberikan pendapatan hingga 710 dolar jika harga karbon yang berlaku di pasar karbon global 5 dolar per ton,” tambahnya.
Partisipasi WWF lainnya adalah dengan membuka stall yang menginformasikan proyek REDD di beberapa wilayah kerja WWF dan mendistribusikan factsheet, buku, dan publikasi lainnya mengenai REDD dan perubahan iklim. WWF-Indonesia telah mengembangkan proyek karbon dalam mekanisme REDD. Proyek percontohan REDD dilakukan di empat wilayah kerja WWF-Indonesia yaitu Kabupaten Unurum Guay di Papua, TN. Tesso Nilo di Sumatera, wilayah TN. Sebangau di Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Kutai Barat di Kalimantan Timur.
Original Link : www.wwf.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar