Kurikulum dipandang sebagai satu “resep pendidikan” bidang tertentu yang secara ideal akan mampu menjawab tujuan pendidikan tingkat sarjana (misal tingkat Sarjana). Sarjana kehutanan seperti apa yang akan dihasilkan oleh lembaga pendidikan tinggi kehutanan di Indonesia ? Ada dua pandangan untuk menjawab pertanyaan tersebut yaitu (1) pandangan yang menyatakan bahwa sarjana kehutanan harus menguasai semua hal teknis yang dibutuhkan lapangan; dan (2) pandangan yang menyatakan bahwa sarjana kehutanan harus mempu mengembangkan ilmu pengetahuan dalam pengabdian mengelola sumberdaya alam hutan. Pandangan pertama beranggapan bahwa sarjana kehutanan harus menjadi sarjana teknis yang mampu mengelola hutan, dan pandangan kedua beranggapan bahwa sarjana kehutanan harus fokus kepada pengembangan ilmu pengetahuan kehutanan dan jangan menjadi “tukang”.
Anehnya perdebatan tujuan yang ingin dihasilkan oleh pendidikan tinggi kehutanan tersebut, sama sekali tidak menjawab persoalan keduanya. Hal tersebut terbukti dari kurikulum yang ada selama ini. Catatan besar bahwa perdebatan tersebut sudah berjalan 20 tahun, dan asik diperdebatkan di dalam tubuh institusi pendidikan sendiri dengan segala arogansinya. Penghuni kampus selalu mengatakan bahwa kebenaran ilmiah hanya ada pada mereka, diluar dunia mereka adalah tidak ilmiah. Sayangnya kebenaran tersebut juga tidak jelas dan tidak mampu menjawab kehancuran sumberdaya alam hutan. Kebenaran sering digunakan hanya untuk alat legitimasi program-program pemerintah saja untuk kepentingan pribadi tetapi berlindung di bawah jargon ilmiah.
Saat sekarang ini sumberdaya alam hutan di Indonesia mengalami tingkat degradasi yang sangat serius. Penyebab kerusakan tersebut adalah antara lain: (1) politik ekonomi nasional lebih dominan pengaruhnya dibanding dengan politik konservasi sumberdaya hutan; (2) sistem dan strategi pengusahaan hutan yang salah karena pilihan hanya pada model kapitalistik seperti model BUMN dan BUMS, sementara Indonesia tidak sepenuhnya pas dengan model tersebut karena ada model komunal dan individual pengelolaan hutan; (3) perubahan sosial dan lingkungan kurang diantisipasi oleh para pengusaha dan pengelola hutan yang kapitalistik tersebut; dan (4) Free Rider (pemerintah) lemah dalam pengawasan, sehingga pelaku pengusahaan hutan bertindak diluar koridor kelestarian; dan (5) tekanan hutang luar negeri dari negara-negara kapitalis mendorong eksploitasi hutan secara berlebihan.
Tantangan pengelolaan sumberdaya alam hutan pada masa yang akan datang dan yang berpengaruh terhadap kurikulum pendidikan tinggi kehutanan di Indonesia adalah antara lain: (1) Perguruan Tinggi harus mampu membuat resep kurikulum yang mampu membentuk keahlian, pengembangan pengetahuan kehutanan dan sumberdaya alam, dan sikap moral rimbawan; (2) kurikulum harus mampu menjawab persoalan riil di lapangan, persoalan sosial ekonomi dan budaya, dan persoalan lingkungan; dan (3) kurikulum harus mengandung pengetahuan konteks, artinya kurikulum dibangun atas dasar iptek yang dikuasai oleh lembaga tertentu dan kemana arah serta tujuan lembaga pendidikan tersebut menghasilkan sarjana kehutanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar